Rabu, 30 April 2008

MONOPOLI PLN DAN PERSAINGAN USAHA DALAM BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

by: Rifqi Mohammed

A. Pengantar
Ketersediaan listrik bagi seluruh warga negara Indonesia merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun pada saat ini Indonesia sedang mengalami krisis listrik. Listrik yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat menjadi suatu barang yang mahal dan langka disebabkan ketersediaannya yang sangat terbatas. Salah satu faktor yang menjadi pemicu langkanya listrik adalah pertumbuhan akan kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat sementara tidak diimbangi oleh usaha penyediaan tenaga listrik yang memadai.
Tercatat sebagai keadaan krisis listrik yang parah adalah fenomena listrik padam serentak se Jawa Bali pada Rabu, 20 Februari 2008 karena terjadi defisit pasokan listrik hingga 1.044 Mw. Saat itu pemerintah bersiap untuk mengumumkan keadaan darurat jika defisit mencapai 1.500 Mw. Krisis listrik di Indonesia bisa dikatakan sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman berlgilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan terinterkoneksi juga masih sering mengalami masalah.[1]
Wacana mengenai krisis listrik ini sebenarnya telah muncul sejak awal tahun 2002 atau akhir tahun 2001. Pada waktu itu –dan sekarang – muncul pemikiran untuk keterlibatan pihak swasta terhadap pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia yang selama ini dimonopoli oleh PLN. Artinya bahwa pihak swasta sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik di samping PLN sebagai salah satu pelaksana kegiatan usaha penyediaan tenaha listrik di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam koridor kepentingan masyarakat luas terutama dalam hal menetapkan tarif yang dapat dijangkau masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat.
Minimnya pasokan listrik sebagian besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai pemasok 90% kebutuhan listrik nasional sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian listrih hingga korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh pembangunan listrik yang tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan. Hingga kini, sebagian besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil.
[2]
Dengan kodisi PLN yang demikian ini akan semakin terseok bila tidak berbenah dikarenakan permintaan listrik akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pemulihan ekonomi pascakrisis. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian krisis yang disebabkan kesenjangan (gap) antara permintaan dan pawaran sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali dan sistem interkoneksi Sumatra hanya tinggal menunggu waktu.[3]
PLN sebagai satu-satunya penyedia ketenagalistrikan di Indonesia dapat dikatakan ironis. Hal ini dikarenakan PLN yang memiliki posisi dominan dan memonopoli ketenagalistrikan tidak mampu melayani masyarakat pengguna listrik tersebut sementara keterlibatan swasta dalam bisnis listrik secara langsung (menjadi kompetitor PLN) sulit dilakukan karena terdapat preseden putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak memiliki kekuatan mengikat.
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memiliki perbedaan signifikan dengan UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang lama. Dalam UU No.20 Tahun 2002 dijelaskan bahwa semua pelaku usaha diberikan kesempatan yang lebih luas untuk dapat masuk dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Selain itu hal yang cukup berbeda ialah bahwa undang-undang ini telah mengatur hal-hal yang terkait dalam penerapan kompetisi di wilayah-wilayah tertentu.
Sesungguhnya melalui UU No. 20 Tahun 2002 tersebut akan dimungkinkan keterlibatan swasta menjadi pelaku usaha yang menyediakan listrik di Indonesia. Telaah terhadap putusan MK tersebut menjadi menarik dikarenakan secara tidak langsung mendukung PLN dalam memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia padahal secara prediktif pada tahun 2003 telah tergambar akan adanya krisis listrik disebabkan kemampuan PLN yang tidak cukup untuk menjamin pasokan listrik se Indonesia. Tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan persoalan monopoli yang dilakukan oleh PLN tersebut secara yuridis normatif dalam koridor hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah dapatlah ditarik suatu permasalahan dalam penulisan ini yakni bagaimanakah monopoli yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dalam perspektif hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?

C. Pembahasan
1. Landasan Yuridis Monopoli PLN dalam Bidang Ketenagalistrikan di Indonesia
Kelistrikan di Indonesia adalah bentukan sejarah, keadaan geografis, dan keteresediaan sumber daya alam dari zaman dahulu. Dalam perjalanannya, pemerintah selalu mengambil peran yang sempurna dalam penyediaan listrik bagi rakyat yang didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Meskipun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda dan setelah kemerdekaan telah ada perusahaan swasta komersial yang memproduksi listrik, namun pemerintah nasional mengambil peranan dalam pembangunan sektor ini selama 50 tahun terakhir. Perusahaan Umum Listrik Negara yang didirikan pada 1950 telah menjadi pemain kunci dalam cepanya pembangunan sektor kelistrikan. Data statistik menunjukkan bahwa PLN adalah salah satu perusahaan listrik terbesar di dunia dengan total pelanggan 22 juta dan lebih dari 50.000 karyawan serta hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders bagi PLN.
[4]
Secara yuridis PLN berdiri dilandaskan pada UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan pada tahun 2002 UU No.15 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 20 Tahun 2002.[5] Namun kemudian MK melalui Putusan No 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada Rabo tanggal 15 Desember 2004 menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permasalahan inti dari persoalan UU No. 20 Tahun 2002 adalah pada Pasal 16, 17 dan 68 yang menjiwai dari UU ketenagalistrikan tersebut. Pasal 16 menyatakan bahwa usaha penyediaan tenga listrik dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang berbeda. Pasal 17 menyatakan bahwa usaha pembangkitan listrik dilakukan berdasarkan kompetisi dan dilarang menguasai pasar. Larangan penguasaan pasar ini meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain:
a. menguasai kepemilikan;
b. menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi;
c. menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga listrik pada posisi beban puncak;
d. menciptakan hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha lainnya;
e. membatasi produksi tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar;
f. melakukan praktik diskriminasi;
g. melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya;
h. melakukan kecurangan usaha; dan/atau
i. melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
Untuk Pasal 68 menyatakan bahwa Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai dengan dikeluar-kannya Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun yang bertentangan hanya tiga pasal tersebut akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No.20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia.
Dalam hal ini MK berpendapat bahwa cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalisrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit transmisi dan distribusi sehingga dengan demikian meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengkiat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No.20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Dalam siaran Pers Koalisi Masyarakat Anti Kenaikan Harga sebagai pihak yang mengajukan Judicial Review atas UU No. 20 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2002 terlihat bahwa negara tidak lagi bertanggung jawab terhadap penyelengaraan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan tidak ada lagi ketentuan yang menyebutkan agar harga listrik terjangkau oleh masyarakat sebagaimana semula ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 1985 terlebih lagi harga listrik diserahkan kepada pasar sehingga tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini sangat merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).
Bahwa berdasarkan hal pokok di atas maka keberadaan UU No. 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Undang Undang Dasar, karena menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat (publik) Indonesia, yaitu: PT PLN, yang selama ini merupakan satu-satunya BUMN yang mengelola sektor ketenagalistrikan dan telah memberikan sumbangsihnya bagi bangsa, Negara dan masyarakat, bukan hanya karena telah menjalankan fungsi untuk menyediakan tenaga listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, dengan harga terjangkau melainkan juga telah memberikan peran yang besar bagi perekenomian nasional, yang kemudian berdasarkan UU No. 20 tahun 2002 tidak lagi merupakan cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga tidak adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik dengan harga terjangkau melainkan juga akan merugikan perekonomian Negara yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Bahkan dapat pula menggangu keamanan negara dan kedaulatan negara karena negara tidak lagi berkewajiban mengelola cabang produksi terpenting untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
[6]
Putusan MK ini sejalan dengan pengalaman dunia akan tenaga kelistrikan yang telah membuktikan bahwa keberhasilan restrukturisasi sektor tenaga listik adalah mitos belaka. Sejumlah negara baik negara maju dan berkembang telah menerapkan restrukturisasi namun memberikan hasil yang serupa yaitu kenaikan tarif listrik, terjadinya pemadaman, menurunnya tingkat kehandalan, penguasaan sektor listrik oleh sebagian kecil perusahaan energi multinasional dan kegagalan negara melindungi kepentingan ekonomi dan kepentingan masyarakat. Temuan ini dapat dilihat dari studi kasus dari Inggris, Brazil, dan California di AS. Pengalaman berbagai negara tersebut, dan lebih dari 20 negara lainnya di berbagai dunia menunjukkan bahwa untuk mengatasi masalah tata-kelola dan investasi untuk membangun sektor listrik, dibutuhkan kebijakan alternatif dan bukan sekedar deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang berdasar pada fundamentalisme pasar seata.[7]

2. Monopoli PLN dalam Perspektif Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Secara ekonomi, iklim kompetensi dan persaingan yang sehat dapat menghemat miliaran atau bahkan terilyunan rupiah uang konsumen yang harus dibayarakan ke produsen karena harga yang tidak wajar (overcharge) sebagai akibat kenaikan harga yang artifisial. Secara umum, terdapat beberapa manfaat yang didapat perekonomian jika pada sektor ketenagalistrikan terjadi kompetisi dan persaingan yang sehat, di antaranya adalah:
[8]
Pertama, harga yang wajar dilihat dari kualitas. Dalam iklim persaingan, produsen akan berlomba-lomba menarik konsumen dengan menurunkan harga dan meningkatkan kualitas barang/jasa yang dijualnya. Hanya barang/jasa dengan harga yang rendah dengan kualitas terbaik yang akan dibeli oleh konsumen.
Kedua, konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang/jasa. Pasar yang kompetitif akan menghasilkan barang/jasa yang ditawarkan pelaku usaha dengan pilihan harga dan kualitas yang bervariasi. Setiap konsumen pada dasarnya memiliki daya beli dan selera yang berbeda-beda. Karakteristik konsumen untuk memproduksi barang/jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Produsen dituntut untuk sensitif terhadap daya beli dan perubahan selera konsumen. Pelaku usaha yang tidak tanggap terhadap perubahan daya beli dan perubahan selera konsumen lambat laun akan tersingkir di pasar.
Ketiga, persaingan memungkinkan timbulnya inovasi. Persaingan usaha akan merangsang pelaku usaha berlomba-lomba membuat inovasi, baik inovasi produk untuk memenuhi selera konsumen, inovasi teknologi maupun inovasi metode produksi yang lebih efisien. Inovasi akan terus berkembang karena dalam pasar yang bersaing hanya pelaku usaha inovatif yang dapat bertahan dan bersaing.
Terkait dengan sektor ketenagalistrikan, jika ada pesaing lain bagi PLN, tentunya akan mendorong PLN berpikir dan melakukan yang terbaik dalam menentukan harga dan memberikan pelayanan. Hal ini secara positif akan mendorong PLN pada efisiensi kinerja dan inovasi teknologi.
Kompetisi yang dikehendaki agar dapat tercapai suatu iklim usaha yang sehat tidak dapat dilakukan dalam bidang ketenagalistrikan hal ini dikarenakan segmen yang bersifat monopoli alamiah tidak dikompetisikan dan diprioriaskan untuk dikelola oleh BUMN. Purnomo Yusgiantoro dalam hal ini menyatakan bahwa pada dasarnya usaha penyediaan ketenagalistrikan dilakukan secara monopoli, harga jual juga tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan dalam memberi izin tersebut. Meskipun demikian usaha penyediaan ketenagalistrikan juga dapat dilakukan secara terintegrasi atau satu jenis usaha saja. Namun karena PLN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka diberi hak untuk diprioritaskan dalam memenuhi ketenagalistrikan.
[9]
PLN berdasarkan undang-undang merupakan perusahaan yang memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia hal ini dilandaskan pada UU No. 15 Tahun 1985. Dalam perspektif UU No 5 Tahun 1999 mengenai kebasahan monopoli diatur dalam Pasal 51 yang menyatakan bahwa monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Pasal 51 ini tampaknya merupakan turunan dari Pasal 33 UUD 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa listrik merupakan salah satu komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai oleh negara dalam pengaturannya. Dalam Putusan MK tersebut yang merujuk pendapat Hatta dan pandangan para ahli menyimpulkan bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.
Dengan demikian ketersediaan listrik sesungguhnya merupakan tugas Pemerintah untuk menenuhinya. Keterlibatan swasta dalam penguasaan listrik tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pasar dikarenakan ketenagalistrikan merupakan sektor yang unik dan perlu penanganan khusus demi untuk tersedianya listrik yang relatif murah bagi seluruh rakyat Indonesia.

D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan singkat yang telah penulis kemukakan dapatlah diambil kesimpulan bahwa monopoli yang dilakukan oleh PLN dalam sektor ketenagalistrikan memiliki landasan yuridis yang kuat yakni melalui konstruksi hukum Pasal 33 UUD 1945, UU Ketenagalistrikan, dan UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun demikian PLN belum mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia secara layak. Demikian ini merupakan suatu hal yang dilematis bagi penyelenggaraan ketenagalistrikan di Indonesia mengingat kedudukan PLN yang kuat secara yuridis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Penyediaan Ketenagalistrikan Dilakukan Secara Monopoli dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14921&cl=Berita.htm tanggal 30 Mei 2006 diakses tanggal 28 April 2008.

Anonim,
http://www.aphi.or.id/informations.php?subaction=showfull&id=1103715000&archive=&start_from=&ucat=5&.htm diakses 28 April 2008

Banu Muhammad H, 2005, Urgrnsi Persaingan Usaha pada Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 3 Mei 2005.

Fabby Tumiwa, 2005, Pengalaman Restrukturisasi dan Privatisasi Sektor Ketenagalistrikan di Berbagai Negara, dalam Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3 Mei 2005.

Media Indonesia, 21 Februari 2008 dan
http://www.pln-jatim.co.id/e7/_mod/news/news_preview.asp?kode=1276.htm diakses 28 April 2008

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003

UU No 5 Tahun 1999

UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
[1] Lihat Media Indonesia, 21 Februari 2008 dan http://www.pln-jatim.co.id/e7/_mod/news/news_preview.asp?kode=1276.htm diakses 28 April 2008
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Banu Muhammad H, 2005, Urgrnsi Persaingan Usaha pada Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 3 Mei 2005.
[5] Pasal 70 UU No.20 Tahun 2002.
[6]http://www.aphi.or.id/informations.php?subaction=showfull&id=1103715000&archive=&start_from=&ucat=5&.htm diakses 28 April 2008
[7] Fabby Tumiwa, 2005, Pengalaman Restrukturisasi dan Privatisasi Sektor Ketenagalistrikan di Berbagai Negara, dalam Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3 Mei 2005.
[8] Banu Muhammad., op.cit., hal 30.
[9] Penyediaan Ketenagalistrikan Dilakukan Secara Monopoli dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14921&cl=Berita.htm tanggal 30 Mei 2006 diakses tanggal 28 April 2008.

Rabu, 23 April 2008

INFORMASI TIDAK SEIMBANG DALAM IKLAN OPERATOR SELULER YANG MENYESATKAN KONSUMEN

by
Rifqi Mohammed1
A. Pengantar
Hukum pada hakikatnya adalah perlindungan kepentingan manusia
2 demikian pula eksistensi hukum dalam lalu lintas perdagangan. Terlibat sebagai pelaku dalam suatu perdagangan adalah konsumen dan produsen. Dalam kehidupan perdagangan seringkali didominasi oleh tindakan-tindakan penyimpangan dan bahkan perbuatan curang yang dilakukan oleh para pelakunya. Peran pelaku produsen dalam konteks hubungannya dengan konsumen lebih potensial dalam menimbulkan kerugian baik material maupun moral. Hal ini sangat beralasan karena dalam dunia perdagangan yang kompetitif para produsen harus selalu meningkatkan kualitas manajemen perusahaan dan kualitas kontrol internal dan eksternal yang terarah dan tepat guna. Ada di antara mereka yang tidak mampu melakukan seluruh mekanisme tersebut sehingga menggunakan jalan pintas dengan tujuan memperoleh keuntungan besar dan dengan mutu daya saing yang sangat rendah. Tindakan produsen yang demikian tentu bukan saja merupakan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan yang melandasi hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang mengandung nilai moral terdalam.3
Kecurangan dapat dilakukan pada setiap lini. Tulisan ini mencermati kegiatan produsen pada lini marketing yakni dalam hal produsen mempromosikan suatu produk melalui iklan, mengingat suatu produk sedikit banyak kesuksesannya diperoleh melalui iklan. Bahkan konsep penjualan (marketing) mengatakan bahwa konsumen tidak akan membeli produk perusahaan kecuali mereka dirangsang melalui penjualan dan promosi.4 Banyak produk iklan yang kini beredar di masyarakat melanggar etika bisnis. Hal ini disebabkan iklan, yang pada hakikatnya bersifat manusiawi dan berfungsi sebagai media pemberi informasi dan representasi, dimanfaatkan secara berlebihan demi tujuan bisnis semata. Menurut Noach Peea demi kepentingan mencari pasar, tidak jarang iklan berubah menjadi media disinformasi, manipulasi, dan dominasi, yang mengadung bias serta cenderung memberikan pemahaman yang keliru mengenai produk yang sebenarnya.5 Secara khusus fokus tulisan ini membahas mengenai iklan penyedia jasa layanan (provider) atau operator seluler yang pada saat ini marak menghiasi berbagai media iklan seiring makin kompetitifnya dunia seluler di Indonesia. Pengertian media iklan dalam tulisan ini merujuk pada media masa tertulis (koran). Tulisan singkat ini tentu tidak akan dapat mengupas seluruhnya namun tulisan ini hendak menunjukkan terdapatnya informasi yang tidak seimbang dalam iklan operator seluler sehingga seringkali merugikan konsumen.

B. Pengertian dan Fungsi Iklan
Iklan diartikan sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan atau pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa atau di tempat-tempat umum.
6 Sedangkan periklanan menurut Wells, Burnett dan Morarty sebagaimana dikutip Taufik H. Simatupang adalah:
Advertising is paid nonpersonal communication from an identified sponsor using mass media to persuade or influence an audience.
7
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan definisi mengenai iklan maupun periklanan. Namun definisi peraturan perundang-undangan dapat diketemukan dalam Permenakes RI No. 329 Tahun 1976 Pasal 1 Butir 13 yang menyatakan bahwa iklan adalah usaha dengan cara apapun untuk meningkatkan penjualan baik secara langsung meupun tidak langsung, sedangkan Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers mendefinisikan iklan atau periklanan sebagai usaha jasa yang di satu pihak menghubungkan produsen dengan konsumen, dan di lain pihak menghubungkan pencetus gagasan kepada penerima gagasan.
Periklanan merupakan salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan, yang memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.
8
Kotler mengelompokkan iklan berdasar tujuannya pada tiga hal, yakni untuk menyampaikan informasi, membujuk dan mengingatkan. Namun demikian disepakati oleh para manajemen bahwa tujuan utama iklan tidak lain adalah untuk meningkatkan penjualan suatu produk. Sedangkan makna iklan dapat dibedakan menjadi lima kategori yakni, informasi, ajakan/undangan, pengaruh/bujukan, janji/jaminan dan peringatan.
9
Maksud utama kebanyakan iklan adalah untuk membujuk atau mempengaruhi konsumen untuk melakukan (membeli) sesuatu produk. Di dalam iklan, pesan dirancang sedemikian rupa agar bisa membujuk dan mempengaruhi konsumen. Dalam membujuk dan mempengaruhi konsumen, iklan setidaknya menuju pada dua hal, yakni sisi rasional dan sisi psikologis konsumen. Namun iklan pada saat ini lebih ditujukan pada sisi psikologis konsumen bukan sisi rasionalnya.10
Muatan iklan adalah informasi mengenai suatu produk. Informasi yang diperlukan konsumen sekaligus yang harus disampaikan produsen adalah menyangkut tentang harga (price), jumlah (quantity), mutu (quality), cara penggunaan, efek samping dan keterangan-keterangan lainnya, yang dapat membantu konsumen dalam memutuskan untuk membeli atau tidak membeli suatu produk. 11
Fungsi periklanan adalah sebagai sarana pemasaran dan penerangan kepada konsumen, sebab iklan sebagai sarana penerangan akan sangat bermanfaat bagi konsumen. Informasi dari iklan yang benar, jelas, jujur dan lengkap tidak akan menyebabkan konsumen salah dalam menjalankan hak pilihnya atas suatu produk.12

C. Hukum Informasi Tidak Seimbang dalam Iklan Operator Seluler
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
13
Hak atas informasi merupakan salah satu hak universal konsumen yang harus dihormati dan dilindungi.14 Maksud dari suatu informasi adalah informasi yang lengkap sehingga tidak ada suatu hal penting yang semestinya menjadi hak konsumen tidak tercantum di dalamnya atau bahkan sengaja disembunyikan. Informasi tersebut harus dapat juga dipahami (secara mudah) karena jika tidak dapat dipahami maka informasi tidak akan berguna sama sekali.15 Informasi yang tidak lengkap dan tidak memadai yang disampaikan kepada konsumen dapat menimbulkan kesan yang keliru (misleading) pada konsumen yang menyebabkan konsumen merasa tertipu. Hak atas informasi ini juga diatur dalam Pasal 4 huruf a UUPK yang menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Bahwa informasi bagi konsumen sekaligus menjadi kewajiban bagi produsen, yang dilindungi secara hukum. Informasi penting yang harus dikemukakan oleh produsen tersebut menyangkut tentang harga, kualitas/mutu, efek samping, dan hal-hal lain yang perlu diketahui konsumen sebagai bahan rujukan ketika konsumen berniat hendak membeli barang atau jasa.
Namun terdapat suatu information markets and market failures, yaitu suatu informasi pasar yang mengiklankan suatu produk barang dan jasa secara berlebihan, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang salah. Dari arti kata market failures yang apabila diterjemahkan secara bebas berarti “kegagalan pasar,” patut diduga hal tersebut sengaja dilakukan untuk menarik minat pembeli. Meskipun tidak tertutup kemungkinan informasi yang salah tersebut disebabkan salah satu pihak- pengiklan (perusahaan yang mengeluarkan suatu produk), perusahaan periklanan (biro iklan), atau media periklanan- dengan maksud yang tidak baik memberikan informasi secara berlebihan.
16
Dalam harian Kompas edisi Senin, 3 Maret 2008 dijumpai beberapa operator memasang iklan yang menawarkan harga “murah”. Iklan Indosat IM3 yang ditampilkan dalam halaman depan (bawah) koran tersebut sangat persuasif menyatakan bahwa:

Rp 0,0000000000…1 perdetik ke siapa saja, kapan aja, di mana aja setelah 90 detik ke semua operator juga IM3 SMS Bangeetss nelpon murah bangeetss!

Iklan tersebut menampilkan angka Rp 0,0000000000…1 dengan dominan yakni menggunakan huruf kapital besar, font ukuran 100, sedangkan keterangan lain ukurannya hanya 20, bahkan ukuran lebih kecil lagi ada pada kalimat “setelah 90 detik”. Meskipun lebih kecil namun masih tetap dapat dibaca dan dimengerti. Iklan Indosat IM3 juga dimuat di halaman 19 dengan tampilan yang tidak jauh berbeda namun lebih besar. Melalui iklan Indosat IM3 tersebut secara sederhana dapat dimengerti bahwa tarif yang dikenakan adalah Rp 0,0000000000…1 perdetik setelah 90 detik. Artinya setelah 90 detik tarif yang dikenakan sangat murah bahkan terkesan mengajak konsumen untuk tidak memikirkan tarifnya. Huruf yang digunakan dalam angka Rp 0,0000000000…1 dan setelah 90 detik sangat jauh berbeda dalam ukurannya. Iklan Indosat IM3 tersebut lebih menonjolkan Rp 0,0000000000…1 sebagai bentuk promosi ketimbang syarat yang harus diikuti oleh konsumen. Kesan yang ditimbulkan secara psikologis adalah bahwa tarif Indosat IM3 tidak perlu dipikirkan karena saking murahnya.
Pada harian yang sama, halaman 13, ditampilkan iklan dari provider 3 yang menyatakan:
Maen SMS Gratis, nelpon murah abis!
Dua promo favoritmu jadi satu. Sekarang, maen SMS ke sesama 3 gratis tanpa voucer khusus. Kalo nelpon, tarifnya cuma Rp 1/menit dari jam 1 pagi sampai 1 siang!
Mau?
3 Jaringan GSM-mu
Iklan provider 3 tersebut dalam tampilannya menggunakan font ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran seratus terutama pada kata “Maen SMS Gratis, nelpon murah abis!” namun di sisi lain terdapat klausula yang sangat kecil dan tidak sebanding yang diletakkan di pojok bawah iklan tersebut. Klausula tersebut menyatakan bahwa:
Syarat dan ketentuan berlaku.
Min. sekali isi ulang Rp 10.000 untuk menikmati 2 promo sekaligus. SMS ke operator lain Rp 100 (belum termasuk PPN 10%). Nelpon lokal ke sesama 3 Rp 1/menit maks 1 jam/hari, tarif normal berlaku mulai menit ke-61. biaya percakapan menggunakan pulsa utama
Bila diamati sekilas dan kurang jeli tulisan tersebut barangkali tidak akan terbaca dengan baik dan maksud dari kalimat tersebut kurang dapat dipahami dengan baik. Iklan yang sama juga seringkali dipampang pada billboard yang relatif besar namun bila diamati terdapat mengenai syarat dan ketentuan berlaku yang menempati porsi yang sangat kecil-hampir tidak terbaca- di sudut iklan. Dengan demikian konsumen seolah-olah diminta untuk tidak mementingkannya, padahal justru informasi itulah yang penting (necessary) bagi konsumen. Dalam iklan tersebut dicantumkan mengenai informasi lebih lanjut yakni melalui nomor 0896 4 4000 123 atau www.three.co.id.
Pada harian yang sama, halaman 14, ditampilakan iklan dari provider Kartu AS yang merupakan produk Telkomsel. Iklan tersebut dengan gamblang menyatakan SMS Makin Murah Aja! Tampilan iklan tersebut dengan huruf yang relatif besar dituliskan bahwa:
Rp 10 ribu dapat ratusan SMS ke 50 juta pelanggan Telkomsel, Ke operator lain Cuma ½ harga! Ketik SM kirim ke 8999
Selanjutnya dengan huruf yang lebih kecil diterangkan bahwa:
Kasih daaah...
Buat kamu yang nggak bisa hidup tanpa SMS-an, pake aja Kartu As.
Rp 10 ribu dapat 200 SMS untuk 14 hari
Tambah Rp 10 ribu dapat 300 SMS lagi di periode yang sama
SMS ke operator lain cuma Rp 249
Untuk cek jumlah pemakaian SMS gratis, hubungi *869#
Periode tarif promo sampai 31 Mei 2008
Pengen SMS-an yang murah dan bikin puas?
Ketik SM kirim ke 8999. Pake Kartu As, kasih daaah....

Huruf tebal, penebalan oleh penulis, menunjukkan ditulis dengan warna putih yang cukup mencolok disebabkan latar belakang iklan tersebut berwarna merah gelap. Selanjutnya ditulis dengan huruf kecil-kecil (ukuran huruf di bawah 10) yang sukar dibaca dan cenderung hilang (blur) dituliskan sebagai berikut:
Dengan minimum penggunaan pulsa Rp 10 ribu/30 hari, Kartu As kamu aktif terus
Sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku
Info lengkap hubungi customer service di 116 dari Kartu As atau
www.telkomsel.com
Huruf yang blur tersebut menunjukkan ketidakseriusan pemasang iklan untuk memberikan informasi yang mestinya diketahui oleh konsumen pada produk jasa yang ditawarkan. Selanjutnya dalam harian yang sama halaman 23, 24 dan 25 dimuat iklan operator Bebas dari XL. Pada halaman 23 secara persuasif ditampikan iklan dengan menyilang kata tarif per detik (warna kuning) permenit (warna hitam) per jam (warna hijau) dan diikuti kalimat “udah gak jamannya nelpon itung-itungan waktu”. Pada halaman 24 hingga halaman 25 (dua lembar bersambung) iklan Bebas tersebut menyatakan bahwa (ditulis dengan huruf sangat besar dan menonjol) :
TARIF TERMURAH DIJAMIN!
Rp 0,00000...1 Sampe Puaaasssss sementara terdapat tulisan per detik yang disilang dengan coretan warna merah, ke semua operator
Selanjutnya dengan huruf yang relatif lebih kecil namun masih dapat terbaca dijelaskan sebagai berikut:
Segera nikmati tarif termurah XLbebas. Dijamin, paling murah! Bicara ke sesama XL dan ke operator lain tarifnya Rp 0,00000...1, setelah menit tertentu*
Pada iklan bagian bawah dituliskan dengan huruf yang sangat jauh lebih kecil dan cenderung memudar:
○ Periode program berlaku mulai 5 Maret 2008
○ Berlaku untuuk wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Lombok, untuk daerah lain tarifnya lebih murah, info lengkap: www.xl.co.id
Kesemua iklan tersebut menawarkan tarif murah. Nanang Ismuhartoyo dalam hal ini berpendapat bahwa tarif yang ditawarkan tersebut belum tentu menguntungkan konsumen. Janji akan tarif murah hanya memancing konsumen untuk bermigrasi, lalu menguntungkan produsen dalam penggunaan selanjutnya, seperti pembelian pulsa. Dalam kondisi yang semacam itu konsumen menjadi lebih mdah dikendalikan oleh para operator seluler.17
Sekedar dijadikan contoh ternyata iklan yang dipasang pada media masa tersebut dalam memberikan informasi adalah tidak seimbang yakni melalui penekanan-penekanan pada poin tertentu (bagian yang memberikan profit bagi perusahaan) dan membuat informasi ala kadarnya (melalui huruf yang sangat kecil dan kabur sehingga sulit dibaca). Bila konsumen tidak jeli maka konsumen akan dapat memperoleh informasi yang keliru (misleading) atas iklan tersebut.
Junus Sidabalok berdasarkan Pasal 8-17 UUPK menyimpulkan bahwa suatu iklan harus memenuhi syarat yakni (1) Jujur, tidak membohongi; (2) Sesuai dengan yang sebenarnya, tidak mengelabuhi; (3) informasinya benar, tidak keliru atau salah; (4) lengkap, memuat risiko pemakaian; (5) etis; dan (6) tidak mengeksploitasi kejadian/seseorang dan harus dapat dipenuhi.
18 Secara sepintas iklan-iklan tersebut tidak melewati batas undang-undang namun tulisan kecil dan cenderung memudar yang ditampilkan menunjukkan bahwa iklan tersebut tidak jujur, berusaha mengelabuhi konsumen sehingga konsumen akan memperoleh informasi yang tidak benar.
Bila dikaitkan dengan kewajiban konsumen yakni untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi produsen untuk meberikan informasi dalam iklan yang selengkap-lengkapnya. Informasi yang parsial dan cenderung merugikan konsumen maka pihak yang terlibat dalam iklan tersebut semestinya dapat dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana diungkapkan Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani bahwa para pelaku usaha tidak hanya memberikan informasi mengenai “kelebihan” dari barang dan/atau jasa tersebut tetapi termasuk juga “kekurangan” yang masih ada pada barang tersebut.
19
Akhirnya perlu dipikirkan tanggung jawab atas suatu iklan yang memberikan informasi tidak seimbang sehingga cenderung mengelabuhi konsumen karena pada umumnya masalah pertanggungjawaban dalam satu iklan muncul dalam dua hal. Pertama, mengenai informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dan kedua, menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan. Pertanggungjawaban pada soal pertama adalah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan, sedangkan pada soal kedua yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Demikian ini dianalogkan pada tindakan penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja.
20 Karena itulah bila terdapat misleading informasi menjadi rumit menentukan siapakah yang dapat dikenai beban pertanggungjawaban karena proses terjadinya suatu iklan melalui pertimbangan dalam berbagai lini, artinya pertanggungjawaban dapat ditanggung oleh pihak perusahaan produk dan perusahaan pengiklan (bila menggunakan) atau kedua-duanya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam tulisan ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa masih banyak iklan operator seluler yang memberikan informasi tidak seimbang. Informasi tidak seimbang tersebut diujudkan pada huruf-huruf yang digunakan dalam iklan, yakni di satu sisi menonjolkan kelebihan suatu produk dengan menggunakan huruf ukuran besar dan di sisi lain berusaha seminimal mungkin, dengan menggunakan huruf ukuran sangat kecil dan bahkan cenderung kabur, dalam memberikan informasi kepada konsumen atas syarat dan ketentuan yang diberlakukan untuk produk tersebut.
Secara yuridis formal informasi yang disampaikan dalam iklan tersebut dapat dikatakan telah lengkap namun secara kepatutan iklan tersebut dapat dikatakan tidak layak dan cenderung berusaha menipu serta mengelabuhi konsumen. Karena itulah iklan yang berusaha menyembunyikan syarat dan ketentuannya dengan menuliskannya dalam huruf kecil-kecil dan cenderung memudar merupakan sebentuk ketidakjujuran dan pada hakikatnya iklan tersebut telah melanggar ketentuan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Hardjasoemantri, Koesnadi, 1985, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 15 Januari 1985.

Harian Umum Kompas, Kamis 6 Maret 2008.
Harian Umum Kompas, Sabtu 8 Maret 2008.

Harian Umum Kompas, Senin 3 Maret 2008.

Mertokusumo, Sudikno, 1980, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 19 Januari 1980.

Nasution, Az. 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media.

Shofie,Yusuf, 2000, Perlilndungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sidabalok, Junus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dengan Pembahasan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Simatupang, Taufik H., 2004, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citrra Aditya Bakti.

Syawali, Husni dan Imaniyati, Neni Sri (pny.), 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju.

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Akhmad 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

1S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.
2 Sudikno Mertokusumo, 1980, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 19 Januari 1980, hal 1.
3 Romli Atmasasmita, 2000, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Produsen pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipasi Preventif dan Represif, dalam dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, hal 84.
4 Junus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dengan Pembahasan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 235.
5 Kompas, Sabtu 8 Maret 2008
6 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal 369.
7 Taufik H. Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citrra Aditya Bakti, hal 7.
8 Gunawan Widjaja dan Akhmad Yani, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal 42.
9 Junus Sidabalok, op. cit., hal 244.
10 Yusuf Shofie, 2000, Perlilndungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal 133.
11 Taufik H. Simatupang, op. cit., hal 10.
12 Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media, hal 83.
13 Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, op. cit., hal 34.
14 H.E. Saefullah, 2000, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk pada Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, op. cit., hal 39.
15 Koesnadi Hardjasoemantri, 1985, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 15 Januari 1985, hal 8.
16 Taufik H. Simatupang, op. cit., hal 11.
17 Kompas, Kamis 6 Maret 2008
18Junus Sidabalok, op. cit., hal 252.
19Gunawan Widjaja dan Akhmad Yani, op.cit., hal 41.
20 Shofie,Yusuf, op.cit., hal 147.

NEGARA, HUKUM, DAN AGAMA

by

Rifqi Mohammed
1

Dalam seminar bertajuk “Jaminan Perlindungan Hukum dan HAM untuk Kebebasan Beragama dan Beribadah Menurut Agama dan Kepercayaannya” yang berlangsung tiga hari sejak 13 Februari lalu dihasilkan beberapa rekomendasi. Di antaranya adalah agama tidak memerlukan pengakuan negara; negara harus mengakomodasi dan menjamin setiap keyakinan dan agama untuk memperoleh jaminan fasilitas yang sama; fatwa atau rekomendasi kelompok organisasi agama tertentu tidak dapat dijadikan sumber hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum karena lembaga keagamaan tidak masuk struktur ketatanegaraan (Koran Tempo, Senin 18 Februari 2008).

Negara, Hukum dan Agama sebagai Permasalahan Penting
Persoalan mengenai negara, hukum, dan agama merupakan permasalahan yang sungguh penting bagi bangsa ini. Pergulatan hukum dan agama telah ada semenjak keberadaan Indonesia itu sendiri. Telah jelas diatur dalam alenia ke empat dan kemudian dipertegas dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jaminan beragama ini diberikan bagi tiap-tiap penduduk. Penduduk adalah setiap manusia, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, yang ada di Indonesia.
Manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum sehingga pemahaman atas hakikat manusia menjadi salah satu titik tolak dari berpijaknya negara dan hukum. Hakikat manusia Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Notonagoro adalah makhluk yang monopluralis. Manusia memiliki tiga hakikat kodrat sekaligus yakni kodrat monodualis raga dan jiwa, kodrat monodualis makhluk individu dan makhluk sosial, dan kodrat monodualis makhluk yang berdiri sendiri dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Konsepsi monopluralis ini menunjukkan hakikat integral kemanusiaan. Jika satu unsur lepas atau dihilangkan dari padanya maka manusia tersebut akan kehilangan kemanusiaannya. Sementara itu eksistensi negara, dengan kekuasaannya, adalah untuk mengakomodasi dan mengatur kepentingan manusia di dalam masyarakat. Dalam rangka mengakomodasi dan mengatur kepentingan tersebut maka ditentukanlah hukum sebagai kaidah (rule) yang dipatuhi bersama agar konflik kepentingan dalam masyarakat (conflict of human interest) dapat diatasi.
Barangkali manusia yang tidak cocok dengan negaranya karena merasa kepentingannya tidak diakomodir atau merasa tidak diperlakukan adil akan mengatakan sebagaimana Georg Jellinek berpendapat: negara merupakan kejelekan meskipun keberadaannya tidak dapat dihindari. Hal ini benar adanya karena pada hakikatnya setiap kepentingan manusia dalam negara tidak dapat diakomodir. Termasuk dalam persoalan HAM. John Locke sebagai salah satu pelopor HAM menyadari hal ini. Menurut pendapatnya pelaksanaan HAM seseorang akan berbenturan dengan pelaksanaan HAM orang lain.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimanakah kebebasan beragama yang merupakan HAM itu terkait dengan hukum dan negara. Kebebasan beragama merupakan HAM dan HAM termasuk kepentingan manusia yang paling penting di dalam masyarakat. Agama yang satu dalam banyak segi akan berbenturan dengan agama yang lain, di sini berarti ada perbenturan antara HAM manusia yang satu dengan HAM manusia yang lain. Ketika negara berlepastangan dari persoalan agama maka dikhawatirkan akan timbul ketidakadilan dan anarki sesama manusia (homo homini lupus). Sebentuk pengaturan negara, dalam hal ini hukum, adalah suatu keniscayaan untuk mengatasi anarki ini, meskipun bukan jalan satu-satunya.

Aliran Agama yang Menyimpang: Sebuah Refleksi Hukum
Fenomena Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmadiyah dan bermunculannya “Nabi” beserta agama baru di Indonesia dapat dijadikan sebuah refleksi hukum yang terjalin kelindan dengan negara dan agama. Adanya hukum adalah untuk manusia dan manusia di dalam masyarakat menghendaki ketertiban. Islam sebagai agama yang relatif mapan dan baku di Indonesia memandang bahwa fenomena perbedaan akidah dalam ber-Islam sebagai penyimpangan yang pokok sehingga ketika terdapat syahadat selain mentauhidkan Allah dan mengakui bahwa Muhammad saw. adalah utusan-Nya yang terakhir, maka dikatakan sebagai aliran sesat. Setiap muslim akan merasa resah atas adanya aliran sesat ini dan beraksi sehingga tatanan masyarakat menjadi goyah. Ketika hukum (negara) tidak dapat mengantisipasi reaksi ini maka masyarakat akan cenderung melakukan eigenrechting sebagai saluran untuk menyeimbangkan tatanan yang ada (restutio in integrum).
Sesungguhnya tidak ada permasalahan bagi umat Islam atas keyakinan seseorang. Ungkapan laa iqraha fi diin, tidak ada paksaan dalam agama (al-Baqarah 256) dan ungkapan lakum diinukum waliyaddiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku (al-Kaafiruun: 6) merupakan kaidah yang menjadi pedoman dalam toleransi beragama. Namun adanya aliran yang menyimpang dalam Islam tidak dapat ditoleransi. Hal ini dikarenakan aliran tersebut merusak dan menista agama Islam. Kepentingan umat Islamlah dalam menjaga kemurian syariat. Bila adanya aliran, agama, atau kepercayaan apapun juga tanpa menggunakan simbol-simbol Islam dan menamakan dirinya bukan Islam maka umat Islam tentunya tidak akan bereaksi sedemikian keras.
Sebagaimana diketahui bahwa keadilan itu bersifat individual dan relatif maka pengadilan rakyat seringkali dipandang lebih adil dan memuaskan bagi kelompok masyarakat tertentu namun tentu akan dirasa sangat berat sebelah bagi kelompok lainnya. Tugas hukum (negara)lah untuk menyeimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hukum akan gagal memenuhi keadilan dan kebenaran tatkala menutup mata dari perkembangan masyarakat.
Dalam konteks ini agama sangat terkait erat dengan hukum. Peran hukum sebagai tool of social engeenering menjadi penting. Hukum harus mengayomi manusia. Individualisme dan kolektivisme sebagai sifat manusia diseimbangkan. Peran negara dalam hal ini pemerintah sebagai penjaga hukum menjadi signifikan.
Untunglah dalam persoalan aliran agama yang menyimpang tersebut pemerintah melalui Kejaksaan bertindak tepat. Tatkala Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang ssatnya suatu aliran tertentu dalam Islam maka kemudian lembaga penegak hukum bertindak berdasarkan pasal penistaan agama. Fatwa MUI dalam persoalan ini memiliki peran penting karena tanpa adanya fatwa MUI, barangkali lembaga penegak hukum tidak melakukan reaksi. Fatwa MUI menjadi pijakan awal dan terbukti dengan adanya fatwa MUI tersebut, pada satu sisi, dapat menghindarkan kekacauan tatanan masyarakat lebih lanjut. Kondisi masyarakat yang sosio-religius menjadikan justifikasi atas keberadaan agama oleh negara tidak terelakkan.

Sumber Hukum
Sumber hukum dalam literatur diartikan sebagai asal dari hukum. Hukum berasal dari manusia dan untuk manusia. Hukum merupakan sistem yang terbuka sehingga dipengaruhi oleh keadaan yang melingkupinya. Karena itulah sumber hukum terkait dengan hakikat ontologis manusia monopluralis yang lekat dengan aspek religiusitas.
Manusia yang religius tidak mungkin dipisahkan dari agamanya. Agama berpengaruh pada aturan yang diantutnya. Tidaklah bijak bila Hukum, sebagai aturan bagi manusia, dijauhkan dari religiusitas yang melekat pada diri manusia. Bahkan hukum semestinya dilandaskan pada religiusitas.
Setidaknya di dalam masyarakat terdapat kaidah agama, kaidah kesopanan dan kaidah kesusilaan. Kaidah kaidah tersebut dapat menjadi sumber hukum. Kaidah agama menjadi titik tekan di sini. Fatwa sebagai produk ulama adalah merupakan kaidah agama yang seringkali diyakini dan dijalankan oleh masyarakat sehingga menjadi living law.
Perlu juga diingat bahwa tumbuh kembangnya perbankan syariah di Indonesia dijiwai oleh nilai-nilai agama. Fatwa dalam perekonomian Islam menjadi aspek yang dominan sebagai pedoman dalam operasionalisasi lembaga keuangan syariah. Eksistensi fatwa sebagai sumber hukum ekonomi Islam secara empiris tidak dapat dikesampingkan. Kiranya mustahil bagi orang Islam dalam menjalankan kehidupannya (muamalah) tanpa hukum yang bersendikan agama Islam.
Dari segi positivistik dapatlah dikatakan fatwa sebagai produk lembaga keagamaan yang bukan termasuk dalam lembaga ketatanegaraan tidak memiliki kekuatan hukum. Bila suatu aturan agar memiliki kekuatan hukum harus dihasilkan dari lembaga ketatanegaraan maka betapa banyak hukum yang harus dihasilkan untuk mengatur masyarakat. Ini kiranya mustahil karena sifat masyarakat itu senantiasa dinamis.
Mengikatnya hukum dalam masyarakat menurut Paul Sholten didasarkan pada tiga pilar, yakni filosofis, sosiologis dan yuridis. Penyelidikan empiris mengikatnya hukum pada masyarakat perlu mendapatkan porsi yang proporsional. Pertanyaan apakah manusia Indonesia telah meninggalkan agamanya menjadi penting untuk diselidiki demi menemukan mengikatnya fatwa sebagai hukum yang hidup. Asumsi-asumsi yang dibangun kiranya dibuktikan sehingga formulasi hukum di Indonesia sesuai dengan keadaan empiris masyarakat Indonesia sendiri._

1S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.

UNLOCKING PONSEL SEBAGAI PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

by
Rifqi Mohammad
1

A.Pendahuluan
Milenium baru ditandai oleh berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terkecuali dalam bidang teknologi komunikasi, khususnya dalam bidang teknologi seluler. Di Indonesia teknologi seluler mulai masuk dan berkembang pada tahun 2000 dan pada saat ini, setelah tujuh tahun berselang, hampir setiap satu orang penduduk di kota-kota besar memiliki ponsel bahkan telah lazim satu orang memiliki ponsel lebih dari satu.
Pada saat ini ponsel yang mengusung jaringan GSM di Indonesia lebih mendominasi daripada ponsel yang mengusung jaringan CDMA. Pelanggan CDMA pada saat ini tidak ada 10%nya dari pelanggan GSM. Hal ini membuat penyedia layanan (operator) CDMA melakukan inovasi-inovasi baik dengan cara meningkatkan mutu layanan maupun melakukan kerjasama dengan pabrikan lain demi dapat tercapainya target ekspansi pasar sehingga mampu bersaing dengan lebih baik dengan penyedia layanan GSM.
Salah satu cara dalam meraih simpati pasar adalah dengan melakukan penjualan secara bundling. Bundling adalah menjual ponsel berikut kartunya secara bersama-sama dan tidak (bermaksud) terpisahkan. Ponsel yang dijual tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan dengan kartu yang tidak satu paket bersama ponsel tersebut. Bundling ini dilakukan dengan cara kerja sama antara penyedia layanan (provider) dan pembuat ponsel.
Adalah kerjasama Samsung dan Fren (Mobile-8) yang pertama kali mempelopori strategi bundling ini. Dengan mengusung jargon frensip strategi bundling ini dijalankan. Untuk membuat harga lebih murah maka pihak Mobile-8 melakukan subsidi terhadap ponsel samsung ini. Dengan harga yang cukup murah, hanya Rp. 388 ribu, konsumen telah dapat ponsel baru sekaligus kartu fren di dalamnya. Strategi penjualan ini cukup ampuh menarik konsumen.
Strategi ini pula diikuti oleh operator CDMA Esia dengan pabrikan Huawei. Strategi bundling ini diwujudkan dalam bentuk ponsel Huawei C2601 berikut nomor esia yang telah terisi di dalamnya. Bundling ini dihargai relatif cukup murah yakni hanya sebesar 200 ribu rupiah.
Tentu saja, tujuan dari strategi kerjasama dalam bentuk bundling ini dimaksudkan untuk memberikan keuntungan ekonomis kepada pihak yang bekerja sama. Artinya dalam bundling itu telah dibuat sedemikian rupa sehingga ponselnya tidak dapat digunakan untuk operator CDMA lain apalagi GSM. Untuk paket frensip, perusahaan telah mengunci ponsel tersebut sehingga hanya dapat digunakan khusus untuk kartu fren. Demikian juga bundling esia dan Huawei, ponsel Huawei seri C2601 dikunci oleh perusahaan supaya hanya dapat digunakan dengan kartu esia semata. Namun demikian fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Rupanya terdapat teknologi yang mampu melakukan craking atas ponsel-ponsel bundlingan tersbut sehingga ponsel-ponsel tersebut menjadi bebas untuk dimasuki oleh berbagai macam kartu (CDMA) yang selain dimaksudkan oleh pihak yang menjual secara bundling.
Pada saat ini telah lazim ponsel bundlingan frensip di unclock dan di isi dengan kartu selain fren. Sedangkan untuk penyedia jasa unlock Huawei C2601 pada saat ini telah banyak yang beroperasi secara terbuka. Di Jawa Timur praktik jual beli software dan penawaran jasa ini sudah mulai terjadi sejak Seeptember 2007. Penyedia jasa unlock ini mengandalkan software dan kabel yang tampaknya merupakan rakitan sendiri. Di Surabaya harga jual software dan kabel buatan yang dipasarkan secara underground dibanderol Rp. 500 ribu hingga Rp. 1 Juta. Sementara jasa unlock nya dipasangi harga Rp. 50 ribu. Untuk jasa unlock nya, telah menyebar dan dapat dengan mudah ditemui di beberapa counter sentra ponsel besar di Indonesia. Umumnya, konsumen yang melakukan unlock ingin mencoba bermigrasi ke layanan di luar esia (Pulsa Edisi 118 Th V/2007/8-21 November).
Kenyataan ini perlu untuk dicermati oleh Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI). Apakah terjadinya unlocking ponsel ini melanggar HKI ataukah tidak. Secara sekilas hal ini tidak mudah untuk dijawab. Untuk itulah perlu pembahasan lebih lanjut, dan hal ini penting mengingat perubahan dan perkembangan serta cepatnya laju teknologi seringkali mengecoh peraturan hukum yang ada.

B.Permasalahan
Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan maka dapat dikemukakan permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah unlocking ponsel merupakan tindakan pelanggaran terhadap HKI?

C.Pembahasan
Inti dari HKI sebenarnya adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual manusia tanpa gangguan dari pihak lain. Sedangkan tujuan dari perlindungan hukum HKI adalah untuk memberi kejelasan mengenai hubungan antara kekayaan intelektual dengan penemu/pencipta, pemegang atau pemakai yang mempergunakan hak kekayaan intelektual tersebut. Perlindungan ini ada bila kepentingan yang dilanggar telah ada peraturan perundang-undangannya.
Dalam sebuah ponsel tentu saja terkait dengannya banyak ragam dari HKI. Bisa saja di dalamnya terdapat hak cipta, hak paten, hak merek dan hak desain industri sekaligus. Atau dengan kata lain dalam sebuah ponsel terdapat hak kekayaan industri. Barangkali kurangpas bila unlocking dikaitkan dengan pelanggaran atas hak paten, hak merek dan bahkan hak desain industri sekalipun karena unlocking ponsel secara nyata tidak melakukan pembajakan (piracy) dan/atau pemalsuan (counterveit) atas ponsel tersebut.
Dalam perspektif hak merek, pengguna ponsel dengan sadar mengetahui bahkan sengaja menggunakan ponsel yang sebenarnya diperuntukkan bagi operator layanan tertentu namun digunakan dengan operator layanan yang lain. Tidak ada unsur penipuan di sini. Dapat dicontohkan bahwa ponsel samsung frensip yang sejatinya hanya dapat digunakan oleh fren namun oleh pemilik ponsel tersebut di inject dengan flexi, misalnya, tidak ada masalah di dalamnya dari segi pihak pengguna. Di lihat dari segi pemilik merekpun tidak ada pelanggaran atas merek ponsel tersebut. Hal ini disebabkan ponsel tersebut tetap dijual dengan merek yang tertera padanya. Huawei C2601 misalnya, ponsel ini tetap bermerek Huawei C2601 dan bahkan terdapat pula logo esia sebagai penyedia layanan yang di bundling dengan ponsel tersebut. Logo esia tersebut cukup mencolok di bawah layar LCD ponsel Huawei 2601t, hanya saja setelah dilakuakan unlocking maka ponsel tersebut dapat dioperasikan dengan selain esia.
Untuk memecahkan permasalahan unlocking ini kiranya perlu dipahamkan perbedaan antara pemegang suatu ponsel dengan hak yang terkait dengan ponsel tersebut. Seorang pemilik ponsel berbeda dari pemegang HKI atas ponsel tersebut. Pemilik ponsel hanyalah memiliki (konkrit) benda tersebut dan pemanfaatannya, sedangkan HKInya (abstrak) yang memiliki adalah pihak pabrikan dari ponsel yang bersangkutan. Dengan membeli ponsel tidak berarti HKI yang ada pada ponsel tersebut beralih.
Milik dalam artian perdata (egendom) yang bermakna bebas melakukan apapun juga terhadap barang yang dimilikinya hanya berlaku bagi pemilik ponsel atas ponselnya dan bukan atas HKI yang digunakan dalam ponsel tersebut. Karena terkait dengan HKI maka sesungguhnya pemilik ponsel tersebut tidak bebas atas kepemilikan ponselnya secara keseluruhan.
Di dalam ponsel tersebut terdapat informasi-informasi keteknikan yang dirahasiakan oleh perusahaan pabrikan. Informasi ini mempunyai nilai untuk menunjang jalannya perusahaan guna mencapai hasil keuntungan yang baik dan juga dapat mendorong kemajuannya. Oleh karenanya dapat dimengerti bila adanya informasi ini terkait erat dengan the law of confidence.
Informasi yang dimiliki oleh perusahaan pada dasarnya pasti dirahasiakan, tetapi ada pula informasi tersebut yang dengan sendirinya telah menjadi pengetahuan umum (common knowledge). Untuk itulah guna menentukan kualitas suatu informasi, apakah rahasia ataupun bukan, serta memiliki nilai ekonomi, sehingga perlu dilindungi, maka bisa diuji dengan empat kriteria, yaitu (Djumhana dan Djubaedillah, 1993 : 174-175) :
Apakah dengan terbukanya informasi itu mengakibatkan pemiliknya memperoleh kerugian;
Pemilik informasi itu yakin bahwa informasinya itu mempunyai nilai yang perlu dirahasiakan, dan tidak semua orang memilikinya;
Pemilik informasi tersebut mempunyai alasan tertentu atas kerugiannya maupun keyakinan kerahasiaan informasi tersebut; dan
Informasi rahasia tersebut mempunyai kekhususan, dan bermula secara khusus dari atau dalam praktek perdagangan dan perindustrian.
Berdasarkan pada kriteria tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa sebenarnya unlocking ponsel adalah sebuah cara-cara (teknik) tertentu untuk dapat membobol ponsel. Cara-cara tersebut, barangkali diketahui-atau tidak-oleh perusahaan pabrikan ponsel, yang pasti cara-cara tersebut dirahasiakan agar tidak diketahui oleh umum. Artinya cara-cara tersebut adalah merupakan informasi.
Dengan terbukanya informasi tentang cara untuk melakukan unlock atas ponsel maka tentu saja pemilik (pabrikan) dari ponsel tersebut bersama dengan penyedia layanan jasa telekomunikasi akan dirugikan. Kerugian dalam hal ini diartikan sebagai kerugian dari ekspektasi keuntungan yang diharapkan bila tidak terjadi unlocking pada ponselnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asumsi awal melepas ponsel dengan sistem bundling ini adalah kesetiaan konsumen untuk menggunakan ponsel tersebut bersama dengan kartu (penyedia layanan jasa) yang tidak dapat dipisahkan di dalamnya. Penggunaan kartu tersebut diharapkan terus menerus atau setidaknya jika pun ganti kartu, maka ponsel tersebut hanya bisa digunakan untuk kartu dari provider yang sama. Namun dengan dilakukannya unlock maka asumsi yang telah dibangun oleh provider bersama pabrikan menjadi runtuh. Ponsel tersebut dapat digunakan untuk provider yang lain, dan ini menimbulkan kerugian secara ekonomis. Dengan demikian parameter pertama dan ketiga dari informasi yang dirahasiakan terpenuhi.
Terhadap paramerter kedua tentu saja dalam maslaah unlocking ini memenuhinya. Pemilik informasi yakin bahwa informasinya itu memiliki nilai yang perlu dirahasiakan dan tidak semua orang memilikinya. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan underground dalam penyebaran informasi ini. Bahkan perpindahan informasi ini dilakukan dengan berbayar. Software dan kabel buatannya dipasarkan seharga Rp. 500 ribu hingga Rp. 1 juta di pasaran, dan tarif unlocknya sekitar Rp. 50 ribu per ponsel.
Adapun terhadap parameter yang mensyaratkan bahwa informasi tersebut mempunyai kekhususan dan bermula secara khusus maka informasi mengenai unlocking ponsel ini adalah khusus, bahkan merupakan suatu keahlian khusus. Khusus dalam artian tidak setiap orang mampu melakukan dan mendapatkan informasi ini.
Unlocking ponsel ini masuk pada tindakan berupa penggunaan, pengungkapan atau mengkomunikasikan, tanpa persetujuan pemiliknya, oleh seseorang yang mengetahui bahwa hal tersebut dirahasiakan, karena itulah perbuatan unlocking tersebut adalah tindakan pelanggaran hukum.
Terlepas dari itu semua, bahwa sesungguhnya tindakan unlocking ponsel ini dapat ditarik dalam perspektif perdata konvensional. Hal ini berangkat dari teori keberadaan HKI adalah untuk melindungi pemilik kekayaan intelektual dari gangguan pihak yang lain. Artinya HKI secara teoritis merupakan hak eksklusif bagi pemiliknya. Dengan demikian dalam kasus bundling ponsel, pada prinsipnya ada ekslusifitas dari pabrikan ponsel dan provider jaringan. Untuk tipe ponsel tertentu hanya secara terbatas (eksklusif) boleh digunakan oleh provider jaringan tertentu. Untuk ponsel samsung dalam kemasan frensip hanya boleh secara terbatas digunakan oleh provider fren (mobile-8) dan untuk ponsel Huawai C2601 secara terbatas hanya boleh digunakan oleh provider esia (Bakrie Telcom).
Unlocking dapat merusak eksklusifitas tersebut. Padahal hak eksklusif itulah yang dilindungi oleh hukum HKI. Karena itulah ada pelanggaran atas hak eksklusifitas tersebut. Dengan demikian terdapat pelanggaran HKI di dalam unlocking ponsel.
Untuk itulah jalan akhir yang dapat ditempuh dalam masalah adanya pelanggaran dengan melalui unlocking ponsel ini adalah melalui lembaga perbuatan melawan hukum (PMH) yang diatur dalam 1365 KUHPerdata. PMH adalah perbuatan yang melanggar hak subjektif pihak lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam lalu-lintas masyarakat terhadap diri dan barang orang lain, mengandung kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan kausal antara PMH dengan kerugian (R. Setiawan, 1979: 75).
Pihak yang melakukan unlocing ponsel adalah pihak yang melakukan PMH karena pertama, melanggar hak subjektif pihak lain, yakni pihak yang melakukan bundling produk ponsel tersebut, kedua, mengandung kesalahan yakni adanya pelanggaran terhadap HKI. Ketiga, adanya kerugian, yakni kerugian menurunnya pendapatan normal yang diharapkan jika bundling atas ponsel tersebut tidak di unlock dan keempat, kerugian ini diakibatkan beralihnya pengguna ponsel yang dibundling tersebut kepada provider yang lain karena ponsel tersebut “dirusak” sedemikian rupa sehingga dapat cocok dengan kartu CDMA yang lain.
Selain hal tersebut penulis berpendapat bahwa ada pelanggaran terhadap hak cipta dalam permasalahan unlocking ponsel ini. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) bahwa program komputer (software) merupakan karya cipta yang dilindungi oleh UUHC. Namun dalam hal ini software tersebut tidak dibajak, hanya saja software tersebut dirusak (di-hack) dengan software lainnya agar pelaku dapat melakukan unlock pada ponsel. Jika software adalah merupakan hak cipta sebagai hak kebendaan yang bersifat abstrak maka perusakan terhadap hak cipta tersebut tetap harus dikenai predikat sebagai pelanggaran terhadap kenikmatan yang seharusnya diperoleh dari barang yang dimiliknya. Hal inilah yang kemudian dapat dikaitkan dengan lembaga PMH dalam konstelasi hukum perdata konvensional di Indonesia.

D.Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah penulis uraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai unlocking ponsel merupakan pelanggaran terhadap rahasia dagang (The Law of Confidence). Hal ini didasari bahwa informasi mengenai unlocking ponsel ini adalah informasi yang penting bagi perusahaan dan jika bocor maka akan sangat merugikan pihak yang telah melakukan bundling terhadap ponsel tersebut. Selain itu unlocking ponsel secara tidak langsung melanggar hak milik orang lain, dalam hal ini hak cipta atas software yang dikategorikan sebagai hak kebendaaan. Oleh karena itu lembaga PMH dalam memberikan perlindungan hukum atas unlocking ini sangat berperan.

REFERENSI
Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah, R., 1993, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Setiawan, R., 1979, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cet.ke-2, Jakarta: Binacipta.

Pulsa Edisi 118 Th V/2007/8-21 November.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

1S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.

ISLAH PARA TOKOH POLITIK SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM


Mohammad Rifqi
1

A.Pendahuluan

Islah sebagai istilah yang populer dalam percaturan politik di Indonesia diartikan sebagai perdamaian antara dua pihak yang berseteru. Istilah ini diambil dari bahasa Arab “as-shulhu” yang secara harfiah mengandung pengertian “memutus pertengkaran atau perselisihan.”
Seringkali kehidupan bernegara Indonesia diwarnai perseteruan antara negarawan satu dengan negarawan lain yang berakhir di pengadilan dengan putusan benar salah. Namun tidak sedikit pula yang berakhir dengan islah (perdamaian).
Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflic of human interest dan melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui perdamaian dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri pertikaian ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan, sedangkan peradilan mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya keadilan yuridis-individualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-salahnya suatu perbuatan oleh hakim.
Dalam memecahkan masalah hukum, secara keperdataan, setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila mampu menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian merupakan jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan salah satu fihak semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap konflik yang dialami manusia.
Dalam hukum positif di Indonesia lembaga perdamaian pada asasnya hanya dikenal dalam hukum privat dan tidak dikenal dalam hukum publik. Tegasnya adalah dalam kasus-kasus pidana tidak ada pihak yang boleh memaafkan dan menyebabkan pelaku tidak dikenai pidana meskipun pihak tersebut adalah korban sendiri. Hal ini disebabkan adanya kepentingan negara, sebagai representasi dari masyarakat, yang dicederai. Oleh karenanya setiap pelaku pidana pada asasnya harus dihukum (prinsip imputansi). Sedangkan dalam kasus perdata ketika seseorang yang melanggar hak orang lain, misalnya melakukan perbuatan hukum atau wanprestasi, hak mempermasalahkan atau hak untuk menggugat diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang dirugikan. Tidak ada pihak yang boleh memaksa atau menghalang-halangi seseorang tersebut untuk menggugat atau tidak menggugat.
Dalam kehidupan bernegara apa saja perilaku para tokoh politik selalu menjadi perhatian masyarakat. Islah antara tokoh-tokoh politik termasuk yang menjadi sorotan utama. Sebutlah kasus Amien Rais sebagai tokoh oposisi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI atas isu dana pemilihan Presiden (Pilpres) 2004. Amien Rais menuduh SBY menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan juga menerima dana dari Negara Asing yang melanggar aturan main pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia (UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Ke duanya kemudian melakukan islah. Alasan Islah tersebut adalah karena adanya kehawatiran politik nasional akan meledak dan Indonesia akan kehilangan muka di mata dunia. Islah ini berdampak pada penghentian penyidikan dana Pilpres 2004 atas para kontestan yang diduga ilegal.
Secara sederhana kasus islah ini dapat diperbandingkan dengan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zainal Ma’arif terhadap SBY. Zainal Ma’arif menuduh bahwa SBY telah menikah dengan seseorang sebelum menikah dengan istrinya yang sekarang, bahkan pernikahan tersebut telah dilakukan sebelum SBY masuk menjadi Taruna di Magelang. Padahal aturannya selama dan sebelum menjadi Taruna seseorang tidak boleh menikah. Dalam hal ini Zainal Ma’arif menuduh bahwa SBY telah melakukan kebohongan publik. Kasus ini kemudian diselesaikan tidak melalui islah melainkan diselesaikan melalui jalur hukum (peradilan).
Jika diperbandingkan antara kasus Amien-SBY dan SBY-Zainal maka akan terlihat perbedaan penyelesaian yakni dalam kasus Amien-SBY diselesaikan melalui islah sedangkan kasus SBY-Zainal diselesaikan melalui jalur pengadilan. Tampaknya ke dua kasus ini dianggap sebagai kasus konflik yang bersifat pribadi. Sehingga seseorang boleh memilih apakah akan diselesaikan melalui jalur peradilan atau melalui islah.
Namun esensi dari ke dua kasus tersebut adalah sama yakni terkait dengan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan yang termasuk dalam ranah hukum pidana. Dalam hukum pidana perbuatan pencemaran nama baik dan berbuatan tidak menyenangkan termasuk dalam delik aduan sehingga penegakan hukumnya bertitik berat pada pihak korban.
Meskipun demikian mereka yang terlibat dalam kasus tersebut adalah tokoh-tokoh politik yang memiliki stratifikasi berbeda dengan masyarakat pada umumnya. SBY berperan dalam stratifikasi sosial sebagai Presiden Republik Indonesia, Amien Rais adalah tokoh partai politik (PAN) sebagai grup penekan (oposisi), tokoh reformasi dan juga mantan ketua MPR, sedangkan Zainal Ma’arif adalah tokoh politisi (mantan wakil ketua DPR RI). Karena itulah mereka yang terlibat dalam kasus memiliki kedudukan khusus dalam masyarakat.
Terkait dengan kedudukan sosial yang khusus tersebut sesungguhnya perilaku para tokoh politik dalam melakukan islah atau menempuh jalur peradilan perlu mendapatkan perhatian. Fenomena perilaku ini perlu dijelaskan dalam bingkai sosiologi hukum sehingga dapat diperoleh gambaran dan penjelasan mengenai pembedaan penyelesaian atas kasus-kasus tersebut. Hal ini penting disebabkan perilaku para tokoh politik tersebut menyangkut domein publik. Kebersangkutan publik dalam permasalahan ini disebabkan pada kasus tersebut terindikasi adanya korupsi meskipun hanya sebatas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan ini seharusnya dibuktikan meskipun yang melakukan penuduhan mencabut tuduhannya, karena terdapat kepentingan publik yang diganggu oleh apa yang dituduhkan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat berhak untuk ikut campur dalam urusan yang tampaknya bersifat pribadi antara tokoh-tokoh politik yang berseteru. Publik berhak mengetahui secara jelas apakah tuduhan tersebut terbukti atau tidak dan setiap tuduhan memiliki konsekuensi secara hukum bagi para pihak, terbukti atau tidak.

B.Permasalahan
Dari latar belakang tersebut dapat ditarik suatu permasalahan yakni bagaimanakah perliaku islah yang dilakukan oleh para tokoh politik dalam perspektif sosiologi hukum?

C.Pembahasan
Sosiologi hukum mencoba menggambarkan perilaku masyarakat dan menjelaskan perilaku tersebut. Perilaku dalam penulisan ini adalah perilaku para tokoh politik dalam menyelesaikan konflik di antara mereka. Dalam hal ini akan dilihat fenomena perilaku penyelesaian yakni yang dilakukan melalui islah dan penyelesaian melalui jalur peradilan. Contoh tepat bagi penulisan ini adalah kasus SBY-Amien Rais dan kasus SBY-Zainal Ma’arif. Ke dua kasus memiliki perbedaan namun memiliki esensi yang satu yakni mengenai pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan yang keduanya termasuk dalam delik aduan.
Substansi dari kasus SBY-Amien adalah bahwa Amien Rais mengaku menerima dana DKP ratusan juta rupiah (Rp. 200 Juta) dan menuding adanya Calon Presiden (Capres) yang menerima dana asing dalam Pemilu 2004. Pernyataan Amien Rais kemudian dibantah dengan pernyataan keras dan geram oleh SBY. Pernyataan ini juga dibantah oleh Jusuf Kalla (JK). Pada saat itu SBY mengancam akan memerkarakan Amien Rais melalui jalur peradilan. Dalam konferensi Persnya pada Jumat 25 Mei 2007 SBY menyatakan bahwa:
“Saya akan menggunakan hak saya untuk melakukan proses hukum demi keadilan di negeri ini..” 2
Terhadap ancaman tersebut Amien Rais tetap tidak bergeming karena keyakinannya akan bukti yang dimilikinya. Keyakinan Amien Rais ini didukung pula oleh Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) yang pada waktu kasus ini terjadi menjadi salah satu kontestan dalam Pilpres 2004 yakni sebagai calon wapres bersama Wiranto. Gus Sholah mengaku bahwa ada aliran dana yang tidak sesuai dengan aturan main dalam peraturan perundang-undangan Pilpres. Bila kasus tersebut diselesaikan melalui jalur pengadilan dapat diprediksikan bahwa Amien Rais dapat dihukum pidana -masuk penjara- sedangkan SBY dan JK, keduanya dapat terkena impeachment dan dikenai pula sanksi pidana, bila terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Namun jika tuduhan tersebut tidak terbukti maka Amien Rais dapat dituntut atas tindakan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Publik berharap, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid, bahwa kasus SBY-Amien Rais ini dapat dijadikan momentum untuk menyelesaikan masalah dan kemudian memberikan kepastian pada rakyat bahwa hukum di Indonesia dapat ditegakkan, hal ini sangat positif. Jika perseteruan SBY-Amien ini berlanjut ke Pengadilan, maka hal itu bisa mengungkap siapa yang benar dan siapa yang salah serta diharapkan dapat menyeret mereka yang terlibat
3 serta memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Mencermati kasus ini publik tidak berharap bahwa kasus yang telah bergulir terpendam kembali. Karena bila dipetieskan maka hal ini dapat menambah sulit pengusutan kasus korupsi di Indonesia yang telah menajadi perilaku umum, sekaligus membuktikan bila Indonesia sejak dulu hingga sekarang tidak mampu menegakkan supremasi hukum. Hukum hanya berjalan pada pihak yang lemah semata, terhadap yang kuat selalu ada celah untuk berkelit. Di sinilah terletak tebang pilih yang menyalahi asas equality before the law sebagai nafas penegakan hukum yang berkeadilan.
Pihak Amien Rais bersama kelompok siosialnya (Partai Amanat Nasional-PAN), melalui Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir telah menyiapkan segala sesuatunya bila permasalahan ini akan diselesaikan melalui jalur peradilan, namun Sutrisno berharap bahwa semua pihak menenangkan diri dalam menghadapi persoalan. Menurutnya saat ini masih banyak masalah lain yang lebih penting, seperti kemiskinan. Bahkan Sutrisno secara khusus meminta agar SBY bersikap tenang dan berkepala dingin. Ia menyarankan agar Presiden merangkul para tokoh politik nasional untuk duduk bersama membahas penyelesaian kasus itu dan bukan menambah musuh politik baru.
4
Terkait dengan dana nonbujeter yang dituduhkan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhimin Dahuri telah mengakui bahwa semua departemen memiliki dana nonbujeter, bukan hanya DKP. Bahkan, dana tersebut juga digunakan untuk membantu Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2004. Menurut Rokhimin pengumpulan dana nonbujeter telah menjadi tradisi yang hingga kini masih ada.5 Artinya bahwa permasalahan dana nonbujeter di departemen ini dapat melebar ke setiap departemen yang ada.
Kasus ini bagaimanapun juga telah tenggelam dan sepertinya berakhir. Akhir dari kasus ini adalah merupakan antiklimaks, yakni diselesaikan melalui islah. SBY dan Amien Rais bertemu muka, bersalaman dan bermaafan. Pertemuan tersebut diselenggarakan di ruang tunggu bandar udara Halim Perdanakusuma pada pukul 09:30 yang berlangsung selama 12 menit. Dalam pertemuan tersebut pertama, SBY meminta agar dibuka hubungan komunikasi yang selama ini dirasakan mampet. Kedua, SBY dan Amien sama-sama meminta agar tidak ada saling kesalahpahaman dan Ketiga, sepakat untuk mendudukkan persoalan dana nonbujeter DKP dan dana asing menurut jalur hukum. Tiga kesepakatan ini kemudian diintepretasikan sebagai akhir dari perseteruan.
6
Dalam konferensi pers di Kuala Lumpur, Malaysia, SBY menyatakan bahwa:
“dalam pertemuan tersebut kami berdua sepakat untuk mengakhiri konflik karena jika ini terus berlangsung akan menjadi tidak baik dari segi politik nasional. Sebagai kepala negara, saya ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa bisa saja di kalangan pimpinan politik terjadi perbedaan pandangan politik tapi silaturahmi harus tetap dipertahankan. Mengenai dana DKP, kami sepakat untuk menyerahkan kepada KPK”
7
Isu dana asing dan DKP kemudian sirna berlahan-lahan. Meski diakui tidak bersifat ilmiah namun poling yang dilakukan oleh harian Pikiran Rakyat perlu mendapatkan perhatian serius. Ada dua jawaban dalam poling tersebut yang dapat dipilih, yakni “ditindaklanjuti” dan “dihentikan”. Hasil poling hingga Rabu (13 Juni 2007) pukul 12.00, sejumlah 3.516 suara telah masuk. Dari total responden, 2.947 suara (80,66%) memilih ditindaklanjuti, 569 suara (19,31%) memilih dihentikan. Selisihnya 61,35%8 hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (absolut) dari peserta poling memilih bahwa kasus tersebut diselesaikan dengan dibuktikan melalui jalur peradilan bukan dengan jalan islah.
Bila kasus ini dapat diungkapkan maka berdasarkan Pasal 89 ayat (6) UU Pilpres, pihak yang bersalah sebagai orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan diancam dengan pidana penjara paling singkat empat bulan atau paling lama 24 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp.1 Miliar. Juga mereka yang terkait seperti partai politik, pemilihan persiden dan individu (gartifikasi) dapat pula terungkap. Namun rupanya kasus ini diselesaikan melalui islah yang tidak memiliki konsekuensi hukuman apapun dan seolah-olah menutup kemungkinan pengusutan lebih lanjut.
Masalah ini bukan masalah SBY-Amien Rais semata. Masalah ini memiliki bobot yang jauh lebih besar dan lebih serius, yakni masalah penegakan hukum dan praktik politik yang bercorak good governance.
9 Artinya ketika perseteruan ini ditutup dengan islah sesungguhnya terdapat kepentingan rakyat yang dilanggar. Kepentingan rakyat untuk mengetahui apakah tuduhan-tuduhan yang dilayangkan terhadap pemimpin bangsa terbukti atau tidak. Hal ini merupakan cerminan dari kewenangan rakyat untuk melakukan kontrol sebagai salah satu ciri demokrasi. Terhadap kasus ini terdapat konsekuensi hukum yang tidak dapat dihindarkan. Ketika Amien Rais menuduh dalam Pilpres terdapat kecurangan maka sesungguhnya Amien Rais telah memberikan pernyataan yang tidak boleh ditarik kembali. Hanya ada satu jalan keluar, yakni melalui jalur hukum. Bila terbukti tuduhan tersebut maka tertuduh akan dikenai sanksi hukum sedangkan bila tidak terbukti maka penuduh akan dikenai sanksi hukum pula. Tidak ada yang boleh mengelak karena mereka adalah tokoh politik – negarawan – yang tindakannya berpengaruh pada khalayak luas sehingga publik berhak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Tuduhan tersebut bukan permasalahan pribadi lagi, karena dilakukan oleh tokoh politik, namun menjadi permasalahan publik. Permasalahan semacam ini adalah pedang bermata dua sehingga ketika telah terlontar ke publik maka tidak dapat ditarik kembali.
Fakta menunjukkan bahwa konflik ini dianggap konflik pribadi dan dapat diselesaikan secara islah. Publik seolah-olah hanya menjadi objek yang menonton dari suatu pertandingan sehingga tidak berhak ikut campur atas apa yang terjadi, padahal pertandingan tersebut membawa kepentingan publik. Di sinilah letak ketidakadilan yang diterima publik. Sehingga jalur islah yang dilakukan dalam perpektif keadilan dipandang kurang tepat. Publik berhak mengetahui penyelesaian ini secara benar-salah melalui lembaga peradilan. Substansi dari kasus ini adalah tuduhan penerimaan dana haram (korupsi) DKP dan dana dari luar negeri yang menyalahi aturan. Korupsi adalah salah satu perbuatan pidana dan tentu berhubungan dengan kepentingan publik sehingga islah dalam tuduhan yang substansinya menyangkut korupsi dipandang suatu jalan yang keliru. Namun rupanya perilaku tokoh politik jika menyangkut permasalahan publik (seperti korupsi) tersebut lebih memilih islah daripada menempuh jalur peradilan.
Islah demikian ini juga terjadi antara Yusril Ihza Mahendra dan Taufiqurrahman Ruki. Kasus ini terjadi sebelum kasus SBY-Amien Rais. Saat itu Yusril sebagai Mensesneg dan mantan Menkumham melaporkan ketua KPK, Taufiqurrahman, terkait masalah proyek pengadaan alat-alat penyadap telekomunikasi yang dilakukan dengan penunjukan langsung atau tanpa tender terbuka. Laporan ini merupakan reaksi balasan atas hasil pemeriksaan KPK atas dirinya pada kasus pengadaan alat sistem indentifikasi sidik jari (Automatic Fingerprint Identification System/AFISI) di Depkumham pada 2004 senilai Rp. 18,8 Miliar, yang diduga merugikan negara sekitar Rp. 6 Miliar lantaran melalui proses penunjukan langsung. Masalah penunjukan langsung dilarang berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan barang dan Jasa.
10 Kasus Yusril-Taufiqurrahman Ruki ini akhirnya diselesaiakan melalui jalan damai (islah) melalui perantaraan Presiden SBY. Adapun alasan hukum mengapa dilakukan islah antara ke duanya hingga hari ini belumlah jelas.
Berbeda substansi berbeda pula perlakuan. Kasus SBY-Zainal Ma’arif secara substansial adalah pencemaran nama baik dengan titik berat pada pribadi Presiden SBY. Tuduhan Zainal yang menyatakan bahwa SBY telah menikah sebelum menjadi Taruna merupakan serangan terhadap pribadi SBY. Disebabkan masalah yang lebih berat pada persoalan pribadi tersebut maka sesungguhnya tuduhan Zainal dapat diselesaikan secara islah. Zainal Ma’arif bahkan membuka peluang islah setelah melaporkan balik SBY ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polda Metro Jaya. Menurut Zanal islah adalah perintah Agama. Zainal menyatakan bahwa:
“Saya siap kapanpun. Pak SBY kalo nimbali (memanggil) maka itu sangat berharga dan kehormatan bagi saya”
11
Islah yang diharapkan dari kedua tokoh politik ini rupanya tidak terlaksana. Kasus SBY-Zainal akhirnya diselesaikan melalui peradilan. Padahal jika benar SBY hendak berlaku bijaksana dan murah hati sebagaimana dalam pernyataannya ketika penyelesaian kasus SBY-Amien Rais, maka semestinya ke dua tokoh ini dapat melakukan islah. Islah yang menyangkut kepentingan pribadi dalam masalah ini akan lebih dapat dimengerti oleh publik disebabkan kepentingan publik dalam kasus ini tidak banyak terpengaruhi.
Fenomena penyelesaian islah SBY-Amien Rais dan Yusril-Taufiqurrahman di satu sisi serta penyelesaian peradilan SBY-Zainal Ma’arif di sisi lain secara sosiologi hukum dapat dijelaskan. Penjelasan tersebut adalah Pertama, bahwa adanya keterlibatan banyak pihak yang akan tersangkut dalam kasus SBY-Amien Rais, yang merupakan satu kelompok kepentingan menjadikan kasus tersebut “ditutup” melalui jalur islah. Dengan jalur islah maka mereka yang – barangkali – terlibat dalam kasus ini akan menjadi aman dari jangkauan hukum. Sedangkan dalam kasus SBY-Zainal hanya dua pihak yang secara langsung terlibat yakni SBY sebagai pribadi dan Zainal Ma’arif dengan substansi yang tidak menyangkut kepentingan orang banyak. Sehingga dalam hal ini dipilih menggunakan jalur peradilan daripada jalur islah. Dengan jalur peradilan diharapkan dapat menuntaskan kasus ini secara benar-salah dan dalam kenyataannya Zainal Ma’arif saat ini menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik SBY.
Kedua, bahwa perseteruan SBY-Amien Rais dan Yusril-Taufiqurrahman merupakan pertaruhan yang tidak saling menguntungkan. Sebagaimana dijelaskan dalam kasus SBY-Amien bahwa isu yang dilontarkan oleh Amien Rais merupakan isu yang dapat mencederai pihak yang terlibat, isu tersebut merupakan pedang bermata dua, isu tersebut membahayakan kedudukan Amien Rais sendiri dan juga SBY. Karena itulah tatkala saling memaafkan maka isu tersebut menjadi berakhir dan antara para pihak tidak ada yang kelak dirugikan, meskipun dalam hal ini publik jelas dirugikan. Hal yang sama pula terhadap isu Yusril-Taufiqurrahman. Masing-masing saling menuduhkan mengenai adanya penunjukan langsung dalam pengadaan barang yang berujung pada tuduhan korupsi. Disebabkan karena proses pengadilan dapat mencederai kepentingan dua pihak, yakni Yusril maupun Taufiqurrahman, maka melalui jalur islah dan saling memaafkan dengan perantara SBY kasus tersebut dituntaskan. Manufer Yusril dalam melakukan counter terhadap tuduhan korupsi yang dilakukan oleh KPK dapat dikatakan sukses. Dengan demikian ke dua pihak yang berseteru tidak ada yang dirugikan.
Sedangkan dalam kasus SBY-Zainal penyelesaian secara benar-salah dengan melalui jalur peradilan merupakan penyelesaian yang relatif lebih menguntungkan salah satu pihak. Penyelesaian ini akan menghasilkan apakah Zainal Ma’arif benar ataukah salah. Konsekuensi dari kasus ini tidak menimpa dua pihak namun hanya akan menimpa salah satu fihak, yakni SBY ataukah Zainal. Karena itulah penyelesaian melalui peradilan dipandang aman dan menguntungkan daripada penyelesaian secara islah.
Penyelesaian dengan islah, khusus pada kasus SBY-Amien Rais, membawa dampak positif. Penyelesaian melalui jalur peradilan membawa kepada suatu kemungkinan – bila terbukti terjadi korupsi – untuk diberhentikannya jabatan Presiden di tengah jalan oleh MPR. Penghentian ini akan membawa pada kekacauan konstitusi yang imbasnya dapat mengarah kepada chaos nasional sebagaimana dikemukakan oleh Hidayat Nurwahid.
12
Penyelesaian islah bagaimanapun juga membawa dampak negatif. Dengan islah kasus ini menjadi “tertutup” dan statement-statement yang dilontarkan hanyalah pepesan kosong belaka karena kemudian tidak dibuktikan. Publik dalam hal ini menjadi bingung atas apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah benar ada korupsi atau tidak, publik kemudian menjadi tidak tahu dan publik hanya dikecoh belaka. Padahal dalam penyelenggaraan negara publik berhak tahu apakah ada pelanggaran atau tidak sehingga dapat tercermin penyelenggaraan negara yang bersih. Negara adalah bukan milik seorang Presiden semata atau beberapa tokoh politik saja. Karena itulah publik berhak untuk menuntut kembali apa yang telah terlontarkan untuk dibuktikan bukan dipetieskan. Jika tidak demikian halnya berarti penegakan hukum atas kelompok-kelompok tertentu belumlah efisien.

D.Kesimpulan
Dari uraian pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa islah dilakukan tatkala terdapat tuduhan-tuduhan dengan substansi –atau sedikit banyak menyangkut – korupsi. Islah juga merupakan hasil dari tuduhan yang dilawan dengan tuduhan lain. Dengan melakukan islah maka kasus korupsi yang terindikasi dilakukan oleh para tokoh politik menjadi tertutup dan sirna. Demikian ini adalah tidak adil bagi masyarakat disebabkan masyarakat sesungguhnya berhak mengetahui dengan dibuktikan secara hukum tuduhan-tuduhan tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam perseteruan antara para tokoh politik tersebut di dasari pada substansi dari perseteruan itu adalah korupsi yang terkait dengan masalah penyelenggaraan negara yang bersih (domein publik). Sehingga setiap statment yang dilontarkan oleh politisi dengan substansi menyangkut domein publik semestinya harus dibuktikan dan tidak diselesaikan melalui jalur islah.

REFERENSI

Lesmana, Tjipta, Antiklimaks Perseteruan Amien-Yudhoyono, Sinar Harapan, 29 Mei 2007 dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/ 0705/29/opi01.html diakses tanggal 31 Desember 2007

PDIP Prihatin Perseteruan Mensesneng-KPK, Antaranews, 16 Februari 2007 dalam http://www.antara.co.id/arc/2007/2/16/pdip-prihatin-perseteruan-mensesneg-kpkG.mht diakses tanggal 04 Januari 2007

Perseteruan SBY-Amien Jangan Berujung Impeachment, Sindo Edisi Sore dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama-sore/ perseteruan-sby-amien-jangan-berujung-impeac-3.html diakses tanggal 31 Desember 2007

Perseteruan SBY-Amien Rais, Kalla Melunak, PAN Pasang Kuda-Kuda, Bali Post, Minggu Wage 27 Mei 2007 dalam http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/27/b9 diakses tanggal 31 Desember 2007

Presiden Yudhoyono Akui Bertemu Amien Rais, Akhiri Konflik, Republika Online, 28 Mei 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp? id=294678&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007

SBY Siap Tuntut Amien Rais Terkait Tuduhan Dana Kampanye, Republika Online, 25 Mei 2007, dalam http://www.republika.co.id/online_ detail.asp?id=294423&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007

SBY Versus Amien Positif Buat Hukum, dalam http://beritasore.com/2007/05G28/ sby-versus-amien-positif-buat-hukum/.htm diakses tanggal 31 Desember 2007

Tuntaskan Laacak Dana Pilpres, Pikiran Rakyat, 14 Juli 2007 dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/14/0401.htm diakses tanggal 31 Desember 2007

Zainal Ma’arif Buka Pintu Islah dengan SBY, Republika Online, 31 Juli 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=301980&kat _id=23.htm diakses 31

1 S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.
2SBY Siap Tuntut Amien Rais Terkait Tuduhan Dana Kampanye, Republika Online, 25 Mei 2007, dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=294423&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
3 SBY Versus Amien Positif Buat Hukum, dalam http://beritasore.com/2007/05G28/sby-versus-amien-positif-buat-hukum/.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
4 Perseteruan SBY-Amien Rais, Kalla Melunak, PAN Pasang Kuda-Kuda, Bali Post, 27 Mei 2007 dalam http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/27/b9.html diakses tanggal 31 Desember 2007
5 Ibid.
6 Lesmana, Tjipta, Antiklimaks Perseteruan Amien-Yudhoyono, Sinar Harapan, 29 Mei 2007 dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/29/opi01.html diakses tanggal 31 Desember 2007
7 Presiden Yudhoyono Akui Bertemu Amien Rais, Akhiri Konflik, Republika Online, 28 Mei 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=294678&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
8 Tuntaskan Laacak Dana Pilpres, Pikiran Rakyat, 14 Juli 2007 dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/14/0401.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
9 Lesmana, Tjipta, Op. Cit.
10 PDIP Prihatin Perseteruan Mensesneng-KPK, Antaranews, 16 Februari 2007 dalam http://www.antara.co.id/arc/2007/2/16/pdip-prihatin-perseteruan-mensesneg-kpk/.mht diakses tanggal 04 Januari 2007
11 Zainal Ma’arif Buka Pintu Islah dengan SBY, Republika Online, 31 Juli 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=301980&kat_id=23.htm diakses 31 Desember 2007
12 Perseteruan SBY-Amien Jangan Berujung Impeachment, Sindo Edisi Sore dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama-sore/perseteruan-sby-amien-jangan-berujung-impeac-3.html diakses tanggal 31 Desember 2007