Rabu, 23 April 2008

UNLOCKING PONSEL SEBAGAI PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

by
Rifqi Mohammad
1

A.Pendahuluan
Milenium baru ditandai oleh berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terkecuali dalam bidang teknologi komunikasi, khususnya dalam bidang teknologi seluler. Di Indonesia teknologi seluler mulai masuk dan berkembang pada tahun 2000 dan pada saat ini, setelah tujuh tahun berselang, hampir setiap satu orang penduduk di kota-kota besar memiliki ponsel bahkan telah lazim satu orang memiliki ponsel lebih dari satu.
Pada saat ini ponsel yang mengusung jaringan GSM di Indonesia lebih mendominasi daripada ponsel yang mengusung jaringan CDMA. Pelanggan CDMA pada saat ini tidak ada 10%nya dari pelanggan GSM. Hal ini membuat penyedia layanan (operator) CDMA melakukan inovasi-inovasi baik dengan cara meningkatkan mutu layanan maupun melakukan kerjasama dengan pabrikan lain demi dapat tercapainya target ekspansi pasar sehingga mampu bersaing dengan lebih baik dengan penyedia layanan GSM.
Salah satu cara dalam meraih simpati pasar adalah dengan melakukan penjualan secara bundling. Bundling adalah menjual ponsel berikut kartunya secara bersama-sama dan tidak (bermaksud) terpisahkan. Ponsel yang dijual tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan dengan kartu yang tidak satu paket bersama ponsel tersebut. Bundling ini dilakukan dengan cara kerja sama antara penyedia layanan (provider) dan pembuat ponsel.
Adalah kerjasama Samsung dan Fren (Mobile-8) yang pertama kali mempelopori strategi bundling ini. Dengan mengusung jargon frensip strategi bundling ini dijalankan. Untuk membuat harga lebih murah maka pihak Mobile-8 melakukan subsidi terhadap ponsel samsung ini. Dengan harga yang cukup murah, hanya Rp. 388 ribu, konsumen telah dapat ponsel baru sekaligus kartu fren di dalamnya. Strategi penjualan ini cukup ampuh menarik konsumen.
Strategi ini pula diikuti oleh operator CDMA Esia dengan pabrikan Huawei. Strategi bundling ini diwujudkan dalam bentuk ponsel Huawei C2601 berikut nomor esia yang telah terisi di dalamnya. Bundling ini dihargai relatif cukup murah yakni hanya sebesar 200 ribu rupiah.
Tentu saja, tujuan dari strategi kerjasama dalam bentuk bundling ini dimaksudkan untuk memberikan keuntungan ekonomis kepada pihak yang bekerja sama. Artinya dalam bundling itu telah dibuat sedemikian rupa sehingga ponselnya tidak dapat digunakan untuk operator CDMA lain apalagi GSM. Untuk paket frensip, perusahaan telah mengunci ponsel tersebut sehingga hanya dapat digunakan khusus untuk kartu fren. Demikian juga bundling esia dan Huawei, ponsel Huawei seri C2601 dikunci oleh perusahaan supaya hanya dapat digunakan dengan kartu esia semata. Namun demikian fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Rupanya terdapat teknologi yang mampu melakukan craking atas ponsel-ponsel bundlingan tersbut sehingga ponsel-ponsel tersebut menjadi bebas untuk dimasuki oleh berbagai macam kartu (CDMA) yang selain dimaksudkan oleh pihak yang menjual secara bundling.
Pada saat ini telah lazim ponsel bundlingan frensip di unclock dan di isi dengan kartu selain fren. Sedangkan untuk penyedia jasa unlock Huawei C2601 pada saat ini telah banyak yang beroperasi secara terbuka. Di Jawa Timur praktik jual beli software dan penawaran jasa ini sudah mulai terjadi sejak Seeptember 2007. Penyedia jasa unlock ini mengandalkan software dan kabel yang tampaknya merupakan rakitan sendiri. Di Surabaya harga jual software dan kabel buatan yang dipasarkan secara underground dibanderol Rp. 500 ribu hingga Rp. 1 Juta. Sementara jasa unlock nya dipasangi harga Rp. 50 ribu. Untuk jasa unlock nya, telah menyebar dan dapat dengan mudah ditemui di beberapa counter sentra ponsel besar di Indonesia. Umumnya, konsumen yang melakukan unlock ingin mencoba bermigrasi ke layanan di luar esia (Pulsa Edisi 118 Th V/2007/8-21 November).
Kenyataan ini perlu untuk dicermati oleh Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI). Apakah terjadinya unlocking ponsel ini melanggar HKI ataukah tidak. Secara sekilas hal ini tidak mudah untuk dijawab. Untuk itulah perlu pembahasan lebih lanjut, dan hal ini penting mengingat perubahan dan perkembangan serta cepatnya laju teknologi seringkali mengecoh peraturan hukum yang ada.

B.Permasalahan
Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan maka dapat dikemukakan permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah unlocking ponsel merupakan tindakan pelanggaran terhadap HKI?

C.Pembahasan
Inti dari HKI sebenarnya adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual manusia tanpa gangguan dari pihak lain. Sedangkan tujuan dari perlindungan hukum HKI adalah untuk memberi kejelasan mengenai hubungan antara kekayaan intelektual dengan penemu/pencipta, pemegang atau pemakai yang mempergunakan hak kekayaan intelektual tersebut. Perlindungan ini ada bila kepentingan yang dilanggar telah ada peraturan perundang-undangannya.
Dalam sebuah ponsel tentu saja terkait dengannya banyak ragam dari HKI. Bisa saja di dalamnya terdapat hak cipta, hak paten, hak merek dan hak desain industri sekaligus. Atau dengan kata lain dalam sebuah ponsel terdapat hak kekayaan industri. Barangkali kurangpas bila unlocking dikaitkan dengan pelanggaran atas hak paten, hak merek dan bahkan hak desain industri sekalipun karena unlocking ponsel secara nyata tidak melakukan pembajakan (piracy) dan/atau pemalsuan (counterveit) atas ponsel tersebut.
Dalam perspektif hak merek, pengguna ponsel dengan sadar mengetahui bahkan sengaja menggunakan ponsel yang sebenarnya diperuntukkan bagi operator layanan tertentu namun digunakan dengan operator layanan yang lain. Tidak ada unsur penipuan di sini. Dapat dicontohkan bahwa ponsel samsung frensip yang sejatinya hanya dapat digunakan oleh fren namun oleh pemilik ponsel tersebut di inject dengan flexi, misalnya, tidak ada masalah di dalamnya dari segi pihak pengguna. Di lihat dari segi pemilik merekpun tidak ada pelanggaran atas merek ponsel tersebut. Hal ini disebabkan ponsel tersebut tetap dijual dengan merek yang tertera padanya. Huawei C2601 misalnya, ponsel ini tetap bermerek Huawei C2601 dan bahkan terdapat pula logo esia sebagai penyedia layanan yang di bundling dengan ponsel tersebut. Logo esia tersebut cukup mencolok di bawah layar LCD ponsel Huawei 2601t, hanya saja setelah dilakuakan unlocking maka ponsel tersebut dapat dioperasikan dengan selain esia.
Untuk memecahkan permasalahan unlocking ini kiranya perlu dipahamkan perbedaan antara pemegang suatu ponsel dengan hak yang terkait dengan ponsel tersebut. Seorang pemilik ponsel berbeda dari pemegang HKI atas ponsel tersebut. Pemilik ponsel hanyalah memiliki (konkrit) benda tersebut dan pemanfaatannya, sedangkan HKInya (abstrak) yang memiliki adalah pihak pabrikan dari ponsel yang bersangkutan. Dengan membeli ponsel tidak berarti HKI yang ada pada ponsel tersebut beralih.
Milik dalam artian perdata (egendom) yang bermakna bebas melakukan apapun juga terhadap barang yang dimilikinya hanya berlaku bagi pemilik ponsel atas ponselnya dan bukan atas HKI yang digunakan dalam ponsel tersebut. Karena terkait dengan HKI maka sesungguhnya pemilik ponsel tersebut tidak bebas atas kepemilikan ponselnya secara keseluruhan.
Di dalam ponsel tersebut terdapat informasi-informasi keteknikan yang dirahasiakan oleh perusahaan pabrikan. Informasi ini mempunyai nilai untuk menunjang jalannya perusahaan guna mencapai hasil keuntungan yang baik dan juga dapat mendorong kemajuannya. Oleh karenanya dapat dimengerti bila adanya informasi ini terkait erat dengan the law of confidence.
Informasi yang dimiliki oleh perusahaan pada dasarnya pasti dirahasiakan, tetapi ada pula informasi tersebut yang dengan sendirinya telah menjadi pengetahuan umum (common knowledge). Untuk itulah guna menentukan kualitas suatu informasi, apakah rahasia ataupun bukan, serta memiliki nilai ekonomi, sehingga perlu dilindungi, maka bisa diuji dengan empat kriteria, yaitu (Djumhana dan Djubaedillah, 1993 : 174-175) :
Apakah dengan terbukanya informasi itu mengakibatkan pemiliknya memperoleh kerugian;
Pemilik informasi itu yakin bahwa informasinya itu mempunyai nilai yang perlu dirahasiakan, dan tidak semua orang memilikinya;
Pemilik informasi tersebut mempunyai alasan tertentu atas kerugiannya maupun keyakinan kerahasiaan informasi tersebut; dan
Informasi rahasia tersebut mempunyai kekhususan, dan bermula secara khusus dari atau dalam praktek perdagangan dan perindustrian.
Berdasarkan pada kriteria tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa sebenarnya unlocking ponsel adalah sebuah cara-cara (teknik) tertentu untuk dapat membobol ponsel. Cara-cara tersebut, barangkali diketahui-atau tidak-oleh perusahaan pabrikan ponsel, yang pasti cara-cara tersebut dirahasiakan agar tidak diketahui oleh umum. Artinya cara-cara tersebut adalah merupakan informasi.
Dengan terbukanya informasi tentang cara untuk melakukan unlock atas ponsel maka tentu saja pemilik (pabrikan) dari ponsel tersebut bersama dengan penyedia layanan jasa telekomunikasi akan dirugikan. Kerugian dalam hal ini diartikan sebagai kerugian dari ekspektasi keuntungan yang diharapkan bila tidak terjadi unlocking pada ponselnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asumsi awal melepas ponsel dengan sistem bundling ini adalah kesetiaan konsumen untuk menggunakan ponsel tersebut bersama dengan kartu (penyedia layanan jasa) yang tidak dapat dipisahkan di dalamnya. Penggunaan kartu tersebut diharapkan terus menerus atau setidaknya jika pun ganti kartu, maka ponsel tersebut hanya bisa digunakan untuk kartu dari provider yang sama. Namun dengan dilakukannya unlock maka asumsi yang telah dibangun oleh provider bersama pabrikan menjadi runtuh. Ponsel tersebut dapat digunakan untuk provider yang lain, dan ini menimbulkan kerugian secara ekonomis. Dengan demikian parameter pertama dan ketiga dari informasi yang dirahasiakan terpenuhi.
Terhadap paramerter kedua tentu saja dalam maslaah unlocking ini memenuhinya. Pemilik informasi yakin bahwa informasinya itu memiliki nilai yang perlu dirahasiakan dan tidak semua orang memilikinya. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan underground dalam penyebaran informasi ini. Bahkan perpindahan informasi ini dilakukan dengan berbayar. Software dan kabel buatannya dipasarkan seharga Rp. 500 ribu hingga Rp. 1 juta di pasaran, dan tarif unlocknya sekitar Rp. 50 ribu per ponsel.
Adapun terhadap parameter yang mensyaratkan bahwa informasi tersebut mempunyai kekhususan dan bermula secara khusus maka informasi mengenai unlocking ponsel ini adalah khusus, bahkan merupakan suatu keahlian khusus. Khusus dalam artian tidak setiap orang mampu melakukan dan mendapatkan informasi ini.
Unlocking ponsel ini masuk pada tindakan berupa penggunaan, pengungkapan atau mengkomunikasikan, tanpa persetujuan pemiliknya, oleh seseorang yang mengetahui bahwa hal tersebut dirahasiakan, karena itulah perbuatan unlocking tersebut adalah tindakan pelanggaran hukum.
Terlepas dari itu semua, bahwa sesungguhnya tindakan unlocking ponsel ini dapat ditarik dalam perspektif perdata konvensional. Hal ini berangkat dari teori keberadaan HKI adalah untuk melindungi pemilik kekayaan intelektual dari gangguan pihak yang lain. Artinya HKI secara teoritis merupakan hak eksklusif bagi pemiliknya. Dengan demikian dalam kasus bundling ponsel, pada prinsipnya ada ekslusifitas dari pabrikan ponsel dan provider jaringan. Untuk tipe ponsel tertentu hanya secara terbatas (eksklusif) boleh digunakan oleh provider jaringan tertentu. Untuk ponsel samsung dalam kemasan frensip hanya boleh secara terbatas digunakan oleh provider fren (mobile-8) dan untuk ponsel Huawai C2601 secara terbatas hanya boleh digunakan oleh provider esia (Bakrie Telcom).
Unlocking dapat merusak eksklusifitas tersebut. Padahal hak eksklusif itulah yang dilindungi oleh hukum HKI. Karena itulah ada pelanggaran atas hak eksklusifitas tersebut. Dengan demikian terdapat pelanggaran HKI di dalam unlocking ponsel.
Untuk itulah jalan akhir yang dapat ditempuh dalam masalah adanya pelanggaran dengan melalui unlocking ponsel ini adalah melalui lembaga perbuatan melawan hukum (PMH) yang diatur dalam 1365 KUHPerdata. PMH adalah perbuatan yang melanggar hak subjektif pihak lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam lalu-lintas masyarakat terhadap diri dan barang orang lain, mengandung kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan kausal antara PMH dengan kerugian (R. Setiawan, 1979: 75).
Pihak yang melakukan unlocing ponsel adalah pihak yang melakukan PMH karena pertama, melanggar hak subjektif pihak lain, yakni pihak yang melakukan bundling produk ponsel tersebut, kedua, mengandung kesalahan yakni adanya pelanggaran terhadap HKI. Ketiga, adanya kerugian, yakni kerugian menurunnya pendapatan normal yang diharapkan jika bundling atas ponsel tersebut tidak di unlock dan keempat, kerugian ini diakibatkan beralihnya pengguna ponsel yang dibundling tersebut kepada provider yang lain karena ponsel tersebut “dirusak” sedemikian rupa sehingga dapat cocok dengan kartu CDMA yang lain.
Selain hal tersebut penulis berpendapat bahwa ada pelanggaran terhadap hak cipta dalam permasalahan unlocking ponsel ini. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) bahwa program komputer (software) merupakan karya cipta yang dilindungi oleh UUHC. Namun dalam hal ini software tersebut tidak dibajak, hanya saja software tersebut dirusak (di-hack) dengan software lainnya agar pelaku dapat melakukan unlock pada ponsel. Jika software adalah merupakan hak cipta sebagai hak kebendaan yang bersifat abstrak maka perusakan terhadap hak cipta tersebut tetap harus dikenai predikat sebagai pelanggaran terhadap kenikmatan yang seharusnya diperoleh dari barang yang dimiliknya. Hal inilah yang kemudian dapat dikaitkan dengan lembaga PMH dalam konstelasi hukum perdata konvensional di Indonesia.

D.Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah penulis uraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai unlocking ponsel merupakan pelanggaran terhadap rahasia dagang (The Law of Confidence). Hal ini didasari bahwa informasi mengenai unlocking ponsel ini adalah informasi yang penting bagi perusahaan dan jika bocor maka akan sangat merugikan pihak yang telah melakukan bundling terhadap ponsel tersebut. Selain itu unlocking ponsel secara tidak langsung melanggar hak milik orang lain, dalam hal ini hak cipta atas software yang dikategorikan sebagai hak kebendaaan. Oleh karena itu lembaga PMH dalam memberikan perlindungan hukum atas unlocking ini sangat berperan.

REFERENSI
Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah, R., 1993, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Setiawan, R., 1979, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cet.ke-2, Jakarta: Binacipta.

Pulsa Edisi 118 Th V/2007/8-21 November.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

1S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Subsidi gimana, kalau harga ponsel nya sebenarnya memang 149.000 + perdana 15.000 dijual 199.000 zonder PPn. Sudah untung kan? sama saja kita beli putus bukan?

bella_putri mengatakan...

Mas rifqi tulisannya bagus sekali,kebetulan skripsi sy mengenai permasalahan ini.mohon izin mengutip tulisan mas rifqi yah.tentunya tidak akan melanggar HaKI kok.hahaha.
btw, kalo boleh ngasi komentar ke tjampolay nih..pembelian ponsel itu tidak menghapuskan kepemilikan hak obyek materiil sebagai intagible assets dari ponsel tersebut mas/mbak..artinya, walopun ponsel fren/esia tersebut sudah dibeli hak cipta atas ponsel tersebut tidak turut beralih ke pembelinya. ingat bahwa program komputer berupa application software pada ponsel tersebut dilindungi hak cipta sebagaimana yang diatur pada UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dimana program komputer merupakan salah satu obyek yang dilindungi dengan hak cipta. Jadi marilah kita menjadi bangsa yang menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. (^_^)//