by
A. Pengantar
Hukum pada hakikatnya adalah perlindungan kepentingan manusia2 demikian pula eksistensi hukum dalam lalu lintas perdagangan. Terlibat sebagai pelaku dalam suatu perdagangan adalah konsumen dan produsen. Dalam kehidupan perdagangan seringkali didominasi oleh tindakan-tindakan penyimpangan dan bahkan perbuatan curang yang dilakukan oleh para pelakunya. Peran pelaku produsen dalam konteks hubungannya dengan konsumen lebih potensial dalam menimbulkan kerugian baik material maupun moral. Hal ini sangat beralasan karena dalam dunia perdagangan yang kompetitif para produsen harus selalu meningkatkan kualitas manajemen perusahaan dan kualitas kontrol internal dan eksternal yang terarah dan tepat guna. Ada di antara mereka yang tidak mampu melakukan seluruh mekanisme tersebut sehingga menggunakan jalan pintas dengan tujuan memperoleh keuntungan besar dan dengan mutu daya saing yang sangat rendah. Tindakan produsen yang demikian tentu bukan saja merupakan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan yang melandasi hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang mengandung nilai moral terdalam.3
Kecurangan dapat dilakukan pada setiap lini. Tulisan ini mencermati kegiatan produsen pada lini marketing yakni dalam hal produsen mempromosikan suatu produk melalui iklan, mengingat suatu produk sedikit banyak kesuksesannya diperoleh melalui iklan. Bahkan konsep penjualan (marketing) mengatakan bahwa konsumen tidak akan membeli produk perusahaan kecuali mereka dirangsang melalui penjualan dan promosi.4 Banyak produk iklan yang kini beredar di masyarakat melanggar etika bisnis. Hal ini disebabkan iklan, yang pada hakikatnya bersifat manusiawi dan berfungsi sebagai media pemberi informasi dan representasi, dimanfaatkan secara berlebihan demi tujuan bisnis semata. Menurut Noach Peea demi kepentingan mencari pasar, tidak jarang iklan berubah menjadi media disinformasi, manipulasi, dan dominasi, yang mengadung bias serta cenderung memberikan pemahaman yang keliru mengenai produk yang sebenarnya.5 Secara khusus fokus tulisan ini membahas mengenai iklan penyedia jasa layanan (provider) atau operator seluler yang pada saat ini marak menghiasi berbagai media iklan seiring makin kompetitifnya dunia seluler di Indonesia. Pengertian media iklan dalam tulisan ini merujuk pada media masa tertulis (koran). Tulisan singkat ini tentu tidak akan dapat mengupas seluruhnya namun tulisan ini hendak menunjukkan terdapatnya informasi yang tidak seimbang dalam iklan operator seluler sehingga seringkali merugikan konsumen.
Hukum pada hakikatnya adalah perlindungan kepentingan manusia2 demikian pula eksistensi hukum dalam lalu lintas perdagangan. Terlibat sebagai pelaku dalam suatu perdagangan adalah konsumen dan produsen. Dalam kehidupan perdagangan seringkali didominasi oleh tindakan-tindakan penyimpangan dan bahkan perbuatan curang yang dilakukan oleh para pelakunya. Peran pelaku produsen dalam konteks hubungannya dengan konsumen lebih potensial dalam menimbulkan kerugian baik material maupun moral. Hal ini sangat beralasan karena dalam dunia perdagangan yang kompetitif para produsen harus selalu meningkatkan kualitas manajemen perusahaan dan kualitas kontrol internal dan eksternal yang terarah dan tepat guna. Ada di antara mereka yang tidak mampu melakukan seluruh mekanisme tersebut sehingga menggunakan jalan pintas dengan tujuan memperoleh keuntungan besar dan dengan mutu daya saing yang sangat rendah. Tindakan produsen yang demikian tentu bukan saja merupakan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan yang melandasi hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang mengandung nilai moral terdalam.3
Kecurangan dapat dilakukan pada setiap lini. Tulisan ini mencermati kegiatan produsen pada lini marketing yakni dalam hal produsen mempromosikan suatu produk melalui iklan, mengingat suatu produk sedikit banyak kesuksesannya diperoleh melalui iklan. Bahkan konsep penjualan (marketing) mengatakan bahwa konsumen tidak akan membeli produk perusahaan kecuali mereka dirangsang melalui penjualan dan promosi.4 Banyak produk iklan yang kini beredar di masyarakat melanggar etika bisnis. Hal ini disebabkan iklan, yang pada hakikatnya bersifat manusiawi dan berfungsi sebagai media pemberi informasi dan representasi, dimanfaatkan secara berlebihan demi tujuan bisnis semata. Menurut Noach Peea demi kepentingan mencari pasar, tidak jarang iklan berubah menjadi media disinformasi, manipulasi, dan dominasi, yang mengadung bias serta cenderung memberikan pemahaman yang keliru mengenai produk yang sebenarnya.5 Secara khusus fokus tulisan ini membahas mengenai iklan penyedia jasa layanan (provider) atau operator seluler yang pada saat ini marak menghiasi berbagai media iklan seiring makin kompetitifnya dunia seluler di Indonesia. Pengertian media iklan dalam tulisan ini merujuk pada media masa tertulis (koran). Tulisan singkat ini tentu tidak akan dapat mengupas seluruhnya namun tulisan ini hendak menunjukkan terdapatnya informasi yang tidak seimbang dalam iklan operator seluler sehingga seringkali merugikan konsumen.
B. Pengertian dan Fungsi Iklan
Iklan diartikan sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan atau pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa atau di tempat-tempat umum.6 Sedangkan periklanan menurut Wells, Burnett dan Morarty sebagaimana dikutip Taufik H. Simatupang adalah:
Advertising is paid nonpersonal communication from an identified sponsor using mass media to persuade or influence an audience.7
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan definisi mengenai iklan maupun periklanan. Namun definisi peraturan perundang-undangan dapat diketemukan dalam Permenakes RI No. 329 Tahun 1976 Pasal 1 Butir 13 yang menyatakan bahwa iklan adalah usaha dengan cara apapun untuk meningkatkan penjualan baik secara langsung meupun tidak langsung, sedangkan Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers mendefinisikan iklan atau periklanan sebagai usaha jasa yang di satu pihak menghubungkan produsen dengan konsumen, dan di lain pihak menghubungkan pencetus gagasan kepada penerima gagasan.
Periklanan merupakan salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan, yang memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.8
Kotler mengelompokkan iklan berdasar tujuannya pada tiga hal, yakni untuk menyampaikan informasi, membujuk dan mengingatkan. Namun demikian disepakati oleh para manajemen bahwa tujuan utama iklan tidak lain adalah untuk meningkatkan penjualan suatu produk. Sedangkan makna iklan dapat dibedakan menjadi lima kategori yakni, informasi, ajakan/undangan, pengaruh/bujukan, janji/jaminan dan peringatan.9
Maksud utama kebanyakan iklan adalah untuk membujuk atau mempengaruhi konsumen untuk melakukan (membeli) sesuatu produk. Di dalam iklan, pesan dirancang sedemikian rupa agar bisa membujuk dan mempengaruhi konsumen. Dalam membujuk dan mempengaruhi konsumen, iklan setidaknya menuju pada dua hal, yakni sisi rasional dan sisi psikologis konsumen. Namun iklan pada saat ini lebih ditujukan pada sisi psikologis konsumen bukan sisi rasionalnya.10
Muatan iklan adalah informasi mengenai suatu produk. Informasi yang diperlukan konsumen sekaligus yang harus disampaikan produsen adalah menyangkut tentang harga (price), jumlah (quantity), mutu (quality), cara penggunaan, efek samping dan keterangan-keterangan lainnya, yang dapat membantu konsumen dalam memutuskan untuk membeli atau tidak membeli suatu produk. 11
Fungsi periklanan adalah sebagai sarana pemasaran dan penerangan kepada konsumen, sebab iklan sebagai sarana penerangan akan sangat bermanfaat bagi konsumen. Informasi dari iklan yang benar, jelas, jujur dan lengkap tidak akan menyebabkan konsumen salah dalam menjalankan hak pilihnya atas suatu produk.12
C. Hukum Informasi Tidak Seimbang dalam Iklan Operator Seluler
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.13
Hak atas informasi merupakan salah satu hak universal konsumen yang harus dihormati dan dilindungi.14 Maksud dari suatu informasi adalah informasi yang lengkap sehingga tidak ada suatu hal penting yang semestinya menjadi hak konsumen tidak tercantum di dalamnya atau bahkan sengaja disembunyikan. Informasi tersebut harus dapat juga dipahami (secara mudah) karena jika tidak dapat dipahami maka informasi tidak akan berguna sama sekali.15 Informasi yang tidak lengkap dan tidak memadai yang disampaikan kepada konsumen dapat menimbulkan kesan yang keliru (misleading) pada konsumen yang menyebabkan konsumen merasa tertipu. Hak atas informasi ini juga diatur dalam Pasal 4 huruf a UUPK yang menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Bahwa informasi bagi konsumen sekaligus menjadi kewajiban bagi produsen, yang dilindungi secara hukum. Informasi penting yang harus dikemukakan oleh produsen tersebut menyangkut tentang harga, kualitas/mutu, efek samping, dan hal-hal lain yang perlu diketahui konsumen sebagai bahan rujukan ketika konsumen berniat hendak membeli barang atau jasa.
Namun terdapat suatu information markets and market failures, yaitu suatu informasi pasar yang mengiklankan suatu produk barang dan jasa secara berlebihan, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang salah. Dari arti kata market failures yang apabila diterjemahkan secara bebas berarti “kegagalan pasar,” patut diduga hal tersebut sengaja dilakukan untuk menarik minat pembeli. Meskipun tidak tertutup kemungkinan informasi yang salah tersebut disebabkan salah satu pihak- pengiklan (perusahaan yang mengeluarkan suatu produk), perusahaan periklanan (biro iklan), atau media periklanan- dengan maksud yang tidak baik memberikan informasi secara berlebihan.16
Dalam harian Kompas edisi Senin, 3 Maret 2008 dijumpai beberapa operator memasang iklan yang menawarkan harga “murah”. Iklan Indosat IM3 yang ditampilkan dalam halaman depan (bawah) koran tersebut sangat persuasif menyatakan bahwa:
Rp 0,0000000000…1 perdetik ke siapa saja, kapan aja, di mana aja setelah 90 detik ke semua operator juga IM3 SMS Bangeetss nelpon murah bangeetss!
Iklan tersebut menampilkan angka Rp 0,0000000000…1 dengan dominan yakni menggunakan huruf kapital besar, font ukuran 100, sedangkan keterangan lain ukurannya hanya 20, bahkan ukuran lebih kecil lagi ada pada kalimat “setelah 90 detik”. Meskipun lebih kecil namun masih tetap dapat dibaca dan dimengerti. Iklan Indosat IM3 juga dimuat di halaman 19 dengan tampilan yang tidak jauh berbeda namun lebih besar. Melalui iklan Indosat IM3 tersebut secara sederhana dapat dimengerti bahwa tarif yang dikenakan adalah Rp 0,0000000000…1 perdetik setelah 90 detik. Artinya setelah 90 detik tarif yang dikenakan sangat murah bahkan terkesan mengajak konsumen untuk tidak memikirkan tarifnya. Huruf yang digunakan dalam angka Rp 0,0000000000…1 dan setelah 90 detik sangat jauh berbeda dalam ukurannya. Iklan Indosat IM3 tersebut lebih menonjolkan Rp 0,0000000000…1 sebagai bentuk promosi ketimbang syarat yang harus diikuti oleh konsumen. Kesan yang ditimbulkan secara psikologis adalah bahwa tarif Indosat IM3 tidak perlu dipikirkan karena saking murahnya.
Pada harian yang sama, halaman 13, ditampilkan iklan dari provider 3 yang menyatakan:
Maen SMS Gratis, nelpon murah abis!
Dua promo favoritmu jadi satu. Sekarang, maen SMS ke sesama 3 gratis tanpa voucer khusus. Kalo nelpon, tarifnya cuma Rp 1/menit dari jam 1 pagi sampai 1 siang!
Mau?
3 Jaringan GSM-mu
Iklan provider 3 tersebut dalam tampilannya menggunakan font ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran seratus terutama pada kata “Maen SMS Gratis, nelpon murah abis!” namun di sisi lain terdapat klausula yang sangat kecil dan tidak sebanding yang diletakkan di pojok bawah iklan tersebut. Klausula tersebut menyatakan bahwa:
Syarat dan ketentuan berlaku.
Min. sekali isi ulang Rp 10.000 untuk menikmati 2 promo sekaligus. SMS ke operator lain Rp 100 (belum termasuk PPN 10%). Nelpon lokal ke sesama 3 Rp 1/menit maks 1 jam/hari, tarif normal berlaku mulai menit ke-61. biaya percakapan menggunakan pulsa utama
Bila diamati sekilas dan kurang jeli tulisan tersebut barangkali tidak akan terbaca dengan baik dan maksud dari kalimat tersebut kurang dapat dipahami dengan baik. Iklan yang sama juga seringkali dipampang pada billboard yang relatif besar namun bila diamati terdapat mengenai syarat dan ketentuan berlaku yang menempati porsi yang sangat kecil-hampir tidak terbaca- di sudut iklan. Dengan demikian konsumen seolah-olah diminta untuk tidak mementingkannya, padahal justru informasi itulah yang penting (necessary) bagi konsumen. Dalam iklan tersebut dicantumkan mengenai informasi lebih lanjut yakni melalui nomor 0896 4 4000 123 atau www.three.co.id.
Pada harian yang sama, halaman 14, ditampilakan iklan dari provider Kartu AS yang merupakan produk Telkomsel. Iklan tersebut dengan gamblang menyatakan SMS Makin Murah Aja! Tampilan iklan tersebut dengan huruf yang relatif besar dituliskan bahwa:
Rp 10 ribu dapat ratusan SMS ke 50 juta pelanggan Telkomsel, Ke operator lain Cuma ½ harga! Ketik SM kirim ke 8999
Selanjutnya dengan huruf yang lebih kecil diterangkan bahwa:
Kasih daaah...
Buat kamu yang nggak bisa hidup tanpa SMS-an, pake aja Kartu As.
Rp 10 ribu dapat 200 SMS untuk 14 hari
Tambah Rp 10 ribu dapat 300 SMS lagi di periode yang sama
SMS ke operator lain cuma Rp 249
Untuk cek jumlah pemakaian SMS gratis, hubungi *869#
Periode tarif promo sampai 31 Mei 2008
Pengen SMS-an yang murah dan bikin puas?
Ketik SM kirim ke 8999. Pake Kartu As, kasih daaah....
Buat kamu yang nggak bisa hidup tanpa SMS-an, pake aja Kartu As.
Rp 10 ribu dapat 200 SMS untuk 14 hari
Tambah Rp 10 ribu dapat 300 SMS lagi di periode yang sama
SMS ke operator lain cuma Rp 249
Untuk cek jumlah pemakaian SMS gratis, hubungi *869#
Periode tarif promo sampai 31 Mei 2008
Pengen SMS-an yang murah dan bikin puas?
Ketik SM kirim ke 8999. Pake Kartu As, kasih daaah....
Huruf tebal, penebalan oleh penulis, menunjukkan ditulis dengan warna putih yang cukup mencolok disebabkan latar belakang iklan tersebut berwarna merah gelap. Selanjutnya ditulis dengan huruf kecil-kecil (ukuran huruf di bawah 10) yang sukar dibaca dan cenderung hilang (blur) dituliskan sebagai berikut:
Dengan minimum penggunaan pulsa Rp 10 ribu/30 hari, Kartu As kamu aktif terus
Sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku
Info lengkap hubungi customer service di 116 dari Kartu As atau www.telkomsel.com
Huruf yang blur tersebut menunjukkan ketidakseriusan pemasang iklan untuk memberikan informasi yang mestinya diketahui oleh konsumen pada produk jasa yang ditawarkan. Selanjutnya dalam harian yang sama halaman 23, 24 dan 25 dimuat iklan operator Bebas dari XL. Pada halaman 23 secara persuasif ditampikan iklan dengan menyilang kata tarif per detik (warna kuning) permenit (warna hitam) per jam (warna hijau) dan diikuti kalimat “udah gak jamannya nelpon itung-itungan waktu”. Pada halaman 24 hingga halaman 25 (dua lembar bersambung) iklan Bebas tersebut menyatakan bahwa (ditulis dengan huruf sangat besar dan menonjol) :
TARIF TERMURAH DIJAMIN!
Rp 0,00000...1 Sampe Puaaasssss sementara terdapat tulisan per detik yang disilang dengan coretan warna merah, ke semua operator
Selanjutnya dengan huruf yang relatif lebih kecil namun masih dapat terbaca dijelaskan sebagai berikut:
Segera nikmati tarif termurah XLbebas. Dijamin, paling murah! Bicara ke sesama XL dan ke operator lain tarifnya Rp 0,00000...1, setelah menit tertentu*
Pada iklan bagian bawah dituliskan dengan huruf yang sangat jauh lebih kecil dan cenderung memudar:
○ Periode program berlaku mulai 5 Maret 2008
Rp 0,00000...1 Sampe Puaaasssss sementara terdapat tulisan per detik yang disilang dengan coretan warna merah, ke semua operator
Selanjutnya dengan huruf yang relatif lebih kecil namun masih dapat terbaca dijelaskan sebagai berikut:
Segera nikmati tarif termurah XLbebas. Dijamin, paling murah! Bicara ke sesama XL dan ke operator lain tarifnya Rp 0,00000...1, setelah menit tertentu*
Pada iklan bagian bawah dituliskan dengan huruf yang sangat jauh lebih kecil dan cenderung memudar:
○ Periode program berlaku mulai 5 Maret 2008
○ Berlaku untuuk wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Lombok, untuk daerah lain tarifnya lebih murah, info lengkap: www.xl.co.id
Kesemua iklan tersebut menawarkan tarif murah. Nanang Ismuhartoyo dalam hal ini berpendapat bahwa tarif yang ditawarkan tersebut belum tentu menguntungkan konsumen. Janji akan tarif murah hanya memancing konsumen untuk bermigrasi, lalu menguntungkan produsen dalam penggunaan selanjutnya, seperti pembelian pulsa. Dalam kondisi yang semacam itu konsumen menjadi lebih mdah dikendalikan oleh para operator seluler.17
Sekedar dijadikan contoh ternyata iklan yang dipasang pada media masa tersebut dalam memberikan informasi adalah tidak seimbang yakni melalui penekanan-penekanan pada poin tertentu (bagian yang memberikan profit bagi perusahaan) dan membuat informasi ala kadarnya (melalui huruf yang sangat kecil dan kabur sehingga sulit dibaca). Bila konsumen tidak jeli maka konsumen akan dapat memperoleh informasi yang keliru (misleading) atas iklan tersebut.
Junus Sidabalok berdasarkan Pasal 8-17 UUPK menyimpulkan bahwa suatu iklan harus memenuhi syarat yakni (1) Jujur, tidak membohongi; (2) Sesuai dengan yang sebenarnya, tidak mengelabuhi; (3) informasinya benar, tidak keliru atau salah; (4) lengkap, memuat risiko pemakaian; (5) etis; dan (6) tidak mengeksploitasi kejadian/seseorang dan harus dapat dipenuhi. 18 Secara sepintas iklan-iklan tersebut tidak melewati batas undang-undang namun tulisan kecil dan cenderung memudar yang ditampilkan menunjukkan bahwa iklan tersebut tidak jujur, berusaha mengelabuhi konsumen sehingga konsumen akan memperoleh informasi yang tidak benar.
Bila dikaitkan dengan kewajiban konsumen yakni untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi produsen untuk meberikan informasi dalam iklan yang selengkap-lengkapnya. Informasi yang parsial dan cenderung merugikan konsumen maka pihak yang terlibat dalam iklan tersebut semestinya dapat dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana diungkapkan Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani bahwa para pelaku usaha tidak hanya memberikan informasi mengenai “kelebihan” dari barang dan/atau jasa tersebut tetapi termasuk juga “kekurangan” yang masih ada pada barang tersebut.19
Akhirnya perlu dipikirkan tanggung jawab atas suatu iklan yang memberikan informasi tidak seimbang sehingga cenderung mengelabuhi konsumen karena pada umumnya masalah pertanggungjawaban dalam satu iklan muncul dalam dua hal. Pertama, mengenai informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dan kedua, menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan. Pertanggungjawaban pada soal pertama adalah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan, sedangkan pada soal kedua yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Demikian ini dianalogkan pada tindakan penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja.20 Karena itulah bila terdapat misleading informasi menjadi rumit menentukan siapakah yang dapat dikenai beban pertanggungjawaban karena proses terjadinya suatu iklan melalui pertimbangan dalam berbagai lini, artinya pertanggungjawaban dapat ditanggung oleh pihak perusahaan produk dan perusahaan pengiklan (bila menggunakan) atau kedua-duanya.
Sekedar dijadikan contoh ternyata iklan yang dipasang pada media masa tersebut dalam memberikan informasi adalah tidak seimbang yakni melalui penekanan-penekanan pada poin tertentu (bagian yang memberikan profit bagi perusahaan) dan membuat informasi ala kadarnya (melalui huruf yang sangat kecil dan kabur sehingga sulit dibaca). Bila konsumen tidak jeli maka konsumen akan dapat memperoleh informasi yang keliru (misleading) atas iklan tersebut.
Junus Sidabalok berdasarkan Pasal 8-17 UUPK menyimpulkan bahwa suatu iklan harus memenuhi syarat yakni (1) Jujur, tidak membohongi; (2) Sesuai dengan yang sebenarnya, tidak mengelabuhi; (3) informasinya benar, tidak keliru atau salah; (4) lengkap, memuat risiko pemakaian; (5) etis; dan (6) tidak mengeksploitasi kejadian/seseorang dan harus dapat dipenuhi. 18 Secara sepintas iklan-iklan tersebut tidak melewati batas undang-undang namun tulisan kecil dan cenderung memudar yang ditampilkan menunjukkan bahwa iklan tersebut tidak jujur, berusaha mengelabuhi konsumen sehingga konsumen akan memperoleh informasi yang tidak benar.
Bila dikaitkan dengan kewajiban konsumen yakni untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi produsen untuk meberikan informasi dalam iklan yang selengkap-lengkapnya. Informasi yang parsial dan cenderung merugikan konsumen maka pihak yang terlibat dalam iklan tersebut semestinya dapat dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana diungkapkan Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani bahwa para pelaku usaha tidak hanya memberikan informasi mengenai “kelebihan” dari barang dan/atau jasa tersebut tetapi termasuk juga “kekurangan” yang masih ada pada barang tersebut.19
Akhirnya perlu dipikirkan tanggung jawab atas suatu iklan yang memberikan informasi tidak seimbang sehingga cenderung mengelabuhi konsumen karena pada umumnya masalah pertanggungjawaban dalam satu iklan muncul dalam dua hal. Pertama, mengenai informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dan kedua, menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan. Pertanggungjawaban pada soal pertama adalah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan, sedangkan pada soal kedua yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Demikian ini dianalogkan pada tindakan penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja.20 Karena itulah bila terdapat misleading informasi menjadi rumit menentukan siapakah yang dapat dikenai beban pertanggungjawaban karena proses terjadinya suatu iklan melalui pertimbangan dalam berbagai lini, artinya pertanggungjawaban dapat ditanggung oleh pihak perusahaan produk dan perusahaan pengiklan (bila menggunakan) atau kedua-duanya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam tulisan ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa masih banyak iklan operator seluler yang memberikan informasi tidak seimbang. Informasi tidak seimbang tersebut diujudkan pada huruf-huruf yang digunakan dalam iklan, yakni di satu sisi menonjolkan kelebihan suatu produk dengan menggunakan huruf ukuran besar dan di sisi lain berusaha seminimal mungkin, dengan menggunakan huruf ukuran sangat kecil dan bahkan cenderung kabur, dalam memberikan informasi kepada konsumen atas syarat dan ketentuan yang diberlakukan untuk produk tersebut.
Secara yuridis formal informasi yang disampaikan dalam iklan tersebut dapat dikatakan telah lengkap namun secara kepatutan iklan tersebut dapat dikatakan tidak layak dan cenderung berusaha menipu serta mengelabuhi konsumen. Karena itulah iklan yang berusaha menyembunyikan syarat dan ketentuannya dengan menuliskannya dalam huruf kecil-kecil dan cenderung memudar merupakan sebentuk ketidakjujuran dan pada hakikatnya iklan tersebut telah melanggar ketentuan hukum.
Berdasarkan pemaparan dalam tulisan ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa masih banyak iklan operator seluler yang memberikan informasi tidak seimbang. Informasi tidak seimbang tersebut diujudkan pada huruf-huruf yang digunakan dalam iklan, yakni di satu sisi menonjolkan kelebihan suatu produk dengan menggunakan huruf ukuran besar dan di sisi lain berusaha seminimal mungkin, dengan menggunakan huruf ukuran sangat kecil dan bahkan cenderung kabur, dalam memberikan informasi kepada konsumen atas syarat dan ketentuan yang diberlakukan untuk produk tersebut.
Secara yuridis formal informasi yang disampaikan dalam iklan tersebut dapat dikatakan telah lengkap namun secara kepatutan iklan tersebut dapat dikatakan tidak layak dan cenderung berusaha menipu serta mengelabuhi konsumen. Karena itulah iklan yang berusaha menyembunyikan syarat dan ketentuannya dengan menuliskannya dalam huruf kecil-kecil dan cenderung memudar merupakan sebentuk ketidakjujuran dan pada hakikatnya iklan tersebut telah melanggar ketentuan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjasoemantri, Koesnadi, 1985, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 15 Januari 1985.
Harian Umum Kompas, Kamis 6 Maret 2008.
Harian Umum Kompas, Sabtu 8 Maret 2008.
Harian Umum Kompas, Senin 3 Maret 2008.
Mertokusumo, Sudikno, 1980, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 19 Januari 1980.
Nasution, Az. 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media.
Shofie,Yusuf, 2000, Perlilndungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sidabalok, Junus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dengan Pembahasan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Simatupang, Taufik H., 2004, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citrra Aditya Bakti.
Syawali, Husni dan Imaniyati, Neni Sri (pny.), 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju.
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Widjaja, Gunawan dan Yani, Akhmad 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
1S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.
2 Sudikno Mertokusumo, 1980, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 19 Januari 1980, hal 1.
3 Romli Atmasasmita, 2000, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Produsen pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipasi Preventif dan Represif, dalam dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, hal 84.
4 Junus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dengan Pembahasan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 235.
5 Kompas, Sabtu 8 Maret 2008
6 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal 369.
7 Taufik H. Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citrra Aditya Bakti, hal 7.
8 Gunawan Widjaja dan Akhmad Yani, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal 42.
9 Junus Sidabalok, op. cit., hal 244.
10 Yusuf Shofie, 2000, Perlilndungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal 133.
11 Taufik H. Simatupang, op. cit., hal 10.
12 Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media, hal 83.
13 Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, op. cit., hal 34.
14 H.E. Saefullah, 2000, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk pada Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, op. cit., hal 39.
15 Koesnadi Hardjasoemantri, 1985, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 15 Januari 1985, hal 8.
16 Taufik H. Simatupang, op. cit., hal 11.
17 Kompas, Kamis 6 Maret 2008
18Junus Sidabalok, op. cit., hal 252.
19Gunawan Widjaja dan Akhmad Yani, op.cit., hal 41.
20 Shofie,Yusuf, op.cit., hal 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar