Mohammad Rifqi1
A.Pendahuluan
Islah sebagai istilah yang populer dalam percaturan politik di Indonesia diartikan sebagai perdamaian antara dua pihak yang berseteru. Istilah ini diambil dari bahasa Arab “as-shulhu” yang secara harfiah mengandung pengertian “memutus pertengkaran atau perselisihan.”
Seringkali kehidupan bernegara Indonesia diwarnai perseteruan antara negarawan satu dengan negarawan lain yang berakhir di pengadilan dengan putusan benar salah. Namun tidak sedikit pula yang berakhir dengan islah (perdamaian).
Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflic of human interest dan melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui perdamaian dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri pertikaian ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan, sedangkan peradilan mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya keadilan yuridis-individualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-salahnya suatu perbuatan oleh hakim.
Dalam memecahkan masalah hukum, secara keperdataan, setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila mampu menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian merupakan jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan salah satu fihak semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap konflik yang dialami manusia.
Dalam hukum positif di Indonesia lembaga perdamaian pada asasnya hanya dikenal dalam hukum privat dan tidak dikenal dalam hukum publik. Tegasnya adalah dalam kasus-kasus pidana tidak ada pihak yang boleh memaafkan dan menyebabkan pelaku tidak dikenai pidana meskipun pihak tersebut adalah korban sendiri. Hal ini disebabkan adanya kepentingan negara, sebagai representasi dari masyarakat, yang dicederai. Oleh karenanya setiap pelaku pidana pada asasnya harus dihukum (prinsip imputansi). Sedangkan dalam kasus perdata ketika seseorang yang melanggar hak orang lain, misalnya melakukan perbuatan hukum atau wanprestasi, hak mempermasalahkan atau hak untuk menggugat diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang dirugikan. Tidak ada pihak yang boleh memaksa atau menghalang-halangi seseorang tersebut untuk menggugat atau tidak menggugat.
Dalam kehidupan bernegara apa saja perilaku para tokoh politik selalu menjadi perhatian masyarakat. Islah antara tokoh-tokoh politik termasuk yang menjadi sorotan utama. Sebutlah kasus Amien Rais sebagai tokoh oposisi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI atas isu dana pemilihan Presiden (Pilpres) 2004. Amien Rais menuduh SBY menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan juga menerima dana dari Negara Asing yang melanggar aturan main pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia (UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Ke duanya kemudian melakukan islah. Alasan Islah tersebut adalah karena adanya kehawatiran politik nasional akan meledak dan Indonesia akan kehilangan muka di mata dunia. Islah ini berdampak pada penghentian penyidikan dana Pilpres 2004 atas para kontestan yang diduga ilegal.
Secara sederhana kasus islah ini dapat diperbandingkan dengan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zainal Ma’arif terhadap SBY. Zainal Ma’arif menuduh bahwa SBY telah menikah dengan seseorang sebelum menikah dengan istrinya yang sekarang, bahkan pernikahan tersebut telah dilakukan sebelum SBY masuk menjadi Taruna di Magelang. Padahal aturannya selama dan sebelum menjadi Taruna seseorang tidak boleh menikah. Dalam hal ini Zainal Ma’arif menuduh bahwa SBY telah melakukan kebohongan publik. Kasus ini kemudian diselesaikan tidak melalui islah melainkan diselesaikan melalui jalur hukum (peradilan).
Jika diperbandingkan antara kasus Amien-SBY dan SBY-Zainal maka akan terlihat perbedaan penyelesaian yakni dalam kasus Amien-SBY diselesaikan melalui islah sedangkan kasus SBY-Zainal diselesaikan melalui jalur pengadilan. Tampaknya ke dua kasus ini dianggap sebagai kasus konflik yang bersifat pribadi. Sehingga seseorang boleh memilih apakah akan diselesaikan melalui jalur peradilan atau melalui islah.
Namun esensi dari ke dua kasus tersebut adalah sama yakni terkait dengan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan yang termasuk dalam ranah hukum pidana. Dalam hukum pidana perbuatan pencemaran nama baik dan berbuatan tidak menyenangkan termasuk dalam delik aduan sehingga penegakan hukumnya bertitik berat pada pihak korban.
Meskipun demikian mereka yang terlibat dalam kasus tersebut adalah tokoh-tokoh politik yang memiliki stratifikasi berbeda dengan masyarakat pada umumnya. SBY berperan dalam stratifikasi sosial sebagai Presiden Republik Indonesia, Amien Rais adalah tokoh partai politik (PAN) sebagai grup penekan (oposisi), tokoh reformasi dan juga mantan ketua MPR, sedangkan Zainal Ma’arif adalah tokoh politisi (mantan wakil ketua DPR RI). Karena itulah mereka yang terlibat dalam kasus memiliki kedudukan khusus dalam masyarakat.
Terkait dengan kedudukan sosial yang khusus tersebut sesungguhnya perilaku para tokoh politik dalam melakukan islah atau menempuh jalur peradilan perlu mendapatkan perhatian. Fenomena perilaku ini perlu dijelaskan dalam bingkai sosiologi hukum sehingga dapat diperoleh gambaran dan penjelasan mengenai pembedaan penyelesaian atas kasus-kasus tersebut. Hal ini penting disebabkan perilaku para tokoh politik tersebut menyangkut domein publik. Kebersangkutan publik dalam permasalahan ini disebabkan pada kasus tersebut terindikasi adanya korupsi meskipun hanya sebatas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan ini seharusnya dibuktikan meskipun yang melakukan penuduhan mencabut tuduhannya, karena terdapat kepentingan publik yang diganggu oleh apa yang dituduhkan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat berhak untuk ikut campur dalam urusan yang tampaknya bersifat pribadi antara tokoh-tokoh politik yang berseteru. Publik berhak mengetahui secara jelas apakah tuduhan tersebut terbukti atau tidak dan setiap tuduhan memiliki konsekuensi secara hukum bagi para pihak, terbukti atau tidak.
B.Permasalahan
Dari latar belakang tersebut dapat ditarik suatu permasalahan yakni bagaimanakah perliaku islah yang dilakukan oleh para tokoh politik dalam perspektif sosiologi hukum?
C.Pembahasan
Sosiologi hukum mencoba menggambarkan perilaku masyarakat dan menjelaskan perilaku tersebut. Perilaku dalam penulisan ini adalah perilaku para tokoh politik dalam menyelesaikan konflik di antara mereka. Dalam hal ini akan dilihat fenomena perilaku penyelesaian yakni yang dilakukan melalui islah dan penyelesaian melalui jalur peradilan. Contoh tepat bagi penulisan ini adalah kasus SBY-Amien Rais dan kasus SBY-Zainal Ma’arif. Ke dua kasus memiliki perbedaan namun memiliki esensi yang satu yakni mengenai pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan yang keduanya termasuk dalam delik aduan.
Substansi dari kasus SBY-Amien adalah bahwa Amien Rais mengaku menerima dana DKP ratusan juta rupiah (Rp. 200 Juta) dan menuding adanya Calon Presiden (Capres) yang menerima dana asing dalam Pemilu 2004. Pernyataan Amien Rais kemudian dibantah dengan pernyataan keras dan geram oleh SBY. Pernyataan ini juga dibantah oleh Jusuf Kalla (JK). Pada saat itu SBY mengancam akan memerkarakan Amien Rais melalui jalur peradilan. Dalam konferensi Persnya pada Jumat 25 Mei 2007 SBY menyatakan bahwa:
“Saya akan menggunakan hak saya untuk melakukan proses hukum demi keadilan di negeri ini..” 2
Terhadap ancaman tersebut Amien Rais tetap tidak bergeming karena keyakinannya akan bukti yang dimilikinya. Keyakinan Amien Rais ini didukung pula oleh Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) yang pada waktu kasus ini terjadi menjadi salah satu kontestan dalam Pilpres 2004 yakni sebagai calon wapres bersama Wiranto. Gus Sholah mengaku bahwa ada aliran dana yang tidak sesuai dengan aturan main dalam peraturan perundang-undangan Pilpres. Bila kasus tersebut diselesaikan melalui jalur pengadilan dapat diprediksikan bahwa Amien Rais dapat dihukum pidana -masuk penjara- sedangkan SBY dan JK, keduanya dapat terkena impeachment dan dikenai pula sanksi pidana, bila terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Namun jika tuduhan tersebut tidak terbukti maka Amien Rais dapat dituntut atas tindakan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Publik berharap, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid, bahwa kasus SBY-Amien Rais ini dapat dijadikan momentum untuk menyelesaikan masalah dan kemudian memberikan kepastian pada rakyat bahwa hukum di Indonesia dapat ditegakkan, hal ini sangat positif. Jika perseteruan SBY-Amien ini berlanjut ke Pengadilan, maka hal itu bisa mengungkap siapa yang benar dan siapa yang salah serta diharapkan dapat menyeret mereka yang terlibat3 serta memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Mencermati kasus ini publik tidak berharap bahwa kasus yang telah bergulir terpendam kembali. Karena bila dipetieskan maka hal ini dapat menambah sulit pengusutan kasus korupsi di Indonesia yang telah menajadi perilaku umum, sekaligus membuktikan bila Indonesia sejak dulu hingga sekarang tidak mampu menegakkan supremasi hukum. Hukum hanya berjalan pada pihak yang lemah semata, terhadap yang kuat selalu ada celah untuk berkelit. Di sinilah terletak tebang pilih yang menyalahi asas equality before the law sebagai nafas penegakan hukum yang berkeadilan.
Pihak Amien Rais bersama kelompok siosialnya (Partai Amanat Nasional-PAN), melalui Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir telah menyiapkan segala sesuatunya bila permasalahan ini akan diselesaikan melalui jalur peradilan, namun Sutrisno berharap bahwa semua pihak menenangkan diri dalam menghadapi persoalan. Menurutnya saat ini masih banyak masalah lain yang lebih penting, seperti kemiskinan. Bahkan Sutrisno secara khusus meminta agar SBY bersikap tenang dan berkepala dingin. Ia menyarankan agar Presiden merangkul para tokoh politik nasional untuk duduk bersama membahas penyelesaian kasus itu dan bukan menambah musuh politik baru.4
Terkait dengan dana nonbujeter yang dituduhkan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhimin Dahuri telah mengakui bahwa semua departemen memiliki dana nonbujeter, bukan hanya DKP. Bahkan, dana tersebut juga digunakan untuk membantu Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2004. Menurut Rokhimin pengumpulan dana nonbujeter telah menjadi tradisi yang hingga kini masih ada.5 Artinya bahwa permasalahan dana nonbujeter di departemen ini dapat melebar ke setiap departemen yang ada.
Kasus ini bagaimanapun juga telah tenggelam dan sepertinya berakhir. Akhir dari kasus ini adalah merupakan antiklimaks, yakni diselesaikan melalui islah. SBY dan Amien Rais bertemu muka, bersalaman dan bermaafan. Pertemuan tersebut diselenggarakan di ruang tunggu bandar udara Halim Perdanakusuma pada pukul 09:30 yang berlangsung selama 12 menit. Dalam pertemuan tersebut pertama, SBY meminta agar dibuka hubungan komunikasi yang selama ini dirasakan mampet. Kedua, SBY dan Amien sama-sama meminta agar tidak ada saling kesalahpahaman dan Ketiga, sepakat untuk mendudukkan persoalan dana nonbujeter DKP dan dana asing menurut jalur hukum. Tiga kesepakatan ini kemudian diintepretasikan sebagai akhir dari perseteruan.6
Dalam konferensi pers di Kuala Lumpur, Malaysia, SBY menyatakan bahwa:
“dalam pertemuan tersebut kami berdua sepakat untuk mengakhiri konflik karena jika ini terus berlangsung akan menjadi tidak baik dari segi politik nasional. Sebagai kepala negara, saya ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa bisa saja di kalangan pimpinan politik terjadi perbedaan pandangan politik tapi silaturahmi harus tetap dipertahankan. Mengenai dana DKP, kami sepakat untuk menyerahkan kepada KPK”7
Isu dana asing dan DKP kemudian sirna berlahan-lahan. Meski diakui tidak bersifat ilmiah namun poling yang dilakukan oleh harian Pikiran Rakyat perlu mendapatkan perhatian serius. Ada dua jawaban dalam poling tersebut yang dapat dipilih, yakni “ditindaklanjuti” dan “dihentikan”. Hasil poling hingga Rabu (13 Juni 2007) pukul 12.00, sejumlah 3.516 suara telah masuk. Dari total responden, 2.947 suara (80,66%) memilih ditindaklanjuti, 569 suara (19,31%) memilih dihentikan. Selisihnya 61,35%8 hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (absolut) dari peserta poling memilih bahwa kasus tersebut diselesaikan dengan dibuktikan melalui jalur peradilan bukan dengan jalan islah.
Bila kasus ini dapat diungkapkan maka berdasarkan Pasal 89 ayat (6) UU Pilpres, pihak yang bersalah sebagai orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan diancam dengan pidana penjara paling singkat empat bulan atau paling lama 24 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp.1 Miliar. Juga mereka yang terkait seperti partai politik, pemilihan persiden dan individu (gartifikasi) dapat pula terungkap. Namun rupanya kasus ini diselesaikan melalui islah yang tidak memiliki konsekuensi hukuman apapun dan seolah-olah menutup kemungkinan pengusutan lebih lanjut.
Masalah ini bukan masalah SBY-Amien Rais semata. Masalah ini memiliki bobot yang jauh lebih besar dan lebih serius, yakni masalah penegakan hukum dan praktik politik yang bercorak good governance.9 Artinya ketika perseteruan ini ditutup dengan islah sesungguhnya terdapat kepentingan rakyat yang dilanggar. Kepentingan rakyat untuk mengetahui apakah tuduhan-tuduhan yang dilayangkan terhadap pemimpin bangsa terbukti atau tidak. Hal ini merupakan cerminan dari kewenangan rakyat untuk melakukan kontrol sebagai salah satu ciri demokrasi. Terhadap kasus ini terdapat konsekuensi hukum yang tidak dapat dihindarkan. Ketika Amien Rais menuduh dalam Pilpres terdapat kecurangan maka sesungguhnya Amien Rais telah memberikan pernyataan yang tidak boleh ditarik kembali. Hanya ada satu jalan keluar, yakni melalui jalur hukum. Bila terbukti tuduhan tersebut maka tertuduh akan dikenai sanksi hukum sedangkan bila tidak terbukti maka penuduh akan dikenai sanksi hukum pula. Tidak ada yang boleh mengelak karena mereka adalah tokoh politik – negarawan – yang tindakannya berpengaruh pada khalayak luas sehingga publik berhak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Tuduhan tersebut bukan permasalahan pribadi lagi, karena dilakukan oleh tokoh politik, namun menjadi permasalahan publik. Permasalahan semacam ini adalah pedang bermata dua sehingga ketika telah terlontar ke publik maka tidak dapat ditarik kembali.
Fakta menunjukkan bahwa konflik ini dianggap konflik pribadi dan dapat diselesaikan secara islah. Publik seolah-olah hanya menjadi objek yang menonton dari suatu pertandingan sehingga tidak berhak ikut campur atas apa yang terjadi, padahal pertandingan tersebut membawa kepentingan publik. Di sinilah letak ketidakadilan yang diterima publik. Sehingga jalur islah yang dilakukan dalam perpektif keadilan dipandang kurang tepat. Publik berhak mengetahui penyelesaian ini secara benar-salah melalui lembaga peradilan. Substansi dari kasus ini adalah tuduhan penerimaan dana haram (korupsi) DKP dan dana dari luar negeri yang menyalahi aturan. Korupsi adalah salah satu perbuatan pidana dan tentu berhubungan dengan kepentingan publik sehingga islah dalam tuduhan yang substansinya menyangkut korupsi dipandang suatu jalan yang keliru. Namun rupanya perilaku tokoh politik jika menyangkut permasalahan publik (seperti korupsi) tersebut lebih memilih islah daripada menempuh jalur peradilan.
Islah demikian ini juga terjadi antara Yusril Ihza Mahendra dan Taufiqurrahman Ruki. Kasus ini terjadi sebelum kasus SBY-Amien Rais. Saat itu Yusril sebagai Mensesneg dan mantan Menkumham melaporkan ketua KPK, Taufiqurrahman, terkait masalah proyek pengadaan alat-alat penyadap telekomunikasi yang dilakukan dengan penunjukan langsung atau tanpa tender terbuka. Laporan ini merupakan reaksi balasan atas hasil pemeriksaan KPK atas dirinya pada kasus pengadaan alat sistem indentifikasi sidik jari (Automatic Fingerprint Identification System/AFISI) di Depkumham pada 2004 senilai Rp. 18,8 Miliar, yang diduga merugikan negara sekitar Rp. 6 Miliar lantaran melalui proses penunjukan langsung. Masalah penunjukan langsung dilarang berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan barang dan Jasa.10 Kasus Yusril-Taufiqurrahman Ruki ini akhirnya diselesaiakan melalui jalan damai (islah) melalui perantaraan Presiden SBY. Adapun alasan hukum mengapa dilakukan islah antara ke duanya hingga hari ini belumlah jelas.
Berbeda substansi berbeda pula perlakuan. Kasus SBY-Zainal Ma’arif secara substansial adalah pencemaran nama baik dengan titik berat pada pribadi Presiden SBY. Tuduhan Zainal yang menyatakan bahwa SBY telah menikah sebelum menjadi Taruna merupakan serangan terhadap pribadi SBY. Disebabkan masalah yang lebih berat pada persoalan pribadi tersebut maka sesungguhnya tuduhan Zainal dapat diselesaikan secara islah. Zainal Ma’arif bahkan membuka peluang islah setelah melaporkan balik SBY ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polda Metro Jaya. Menurut Zanal islah adalah perintah Agama. Zainal menyatakan bahwa:
“Saya siap kapanpun. Pak SBY kalo nimbali (memanggil) maka itu sangat berharga dan kehormatan bagi saya”11
Islah yang diharapkan dari kedua tokoh politik ini rupanya tidak terlaksana. Kasus SBY-Zainal akhirnya diselesaikan melalui peradilan. Padahal jika benar SBY hendak berlaku bijaksana dan murah hati sebagaimana dalam pernyataannya ketika penyelesaian kasus SBY-Amien Rais, maka semestinya ke dua tokoh ini dapat melakukan islah. Islah yang menyangkut kepentingan pribadi dalam masalah ini akan lebih dapat dimengerti oleh publik disebabkan kepentingan publik dalam kasus ini tidak banyak terpengaruhi.
Fenomena penyelesaian islah SBY-Amien Rais dan Yusril-Taufiqurrahman di satu sisi serta penyelesaian peradilan SBY-Zainal Ma’arif di sisi lain secara sosiologi hukum dapat dijelaskan. Penjelasan tersebut adalah Pertama, bahwa adanya keterlibatan banyak pihak yang akan tersangkut dalam kasus SBY-Amien Rais, yang merupakan satu kelompok kepentingan menjadikan kasus tersebut “ditutup” melalui jalur islah. Dengan jalur islah maka mereka yang – barangkali – terlibat dalam kasus ini akan menjadi aman dari jangkauan hukum. Sedangkan dalam kasus SBY-Zainal hanya dua pihak yang secara langsung terlibat yakni SBY sebagai pribadi dan Zainal Ma’arif dengan substansi yang tidak menyangkut kepentingan orang banyak. Sehingga dalam hal ini dipilih menggunakan jalur peradilan daripada jalur islah. Dengan jalur peradilan diharapkan dapat menuntaskan kasus ini secara benar-salah dan dalam kenyataannya Zainal Ma’arif saat ini menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik SBY.
Kedua, bahwa perseteruan SBY-Amien Rais dan Yusril-Taufiqurrahman merupakan pertaruhan yang tidak saling menguntungkan. Sebagaimana dijelaskan dalam kasus SBY-Amien bahwa isu yang dilontarkan oleh Amien Rais merupakan isu yang dapat mencederai pihak yang terlibat, isu tersebut merupakan pedang bermata dua, isu tersebut membahayakan kedudukan Amien Rais sendiri dan juga SBY. Karena itulah tatkala saling memaafkan maka isu tersebut menjadi berakhir dan antara para pihak tidak ada yang kelak dirugikan, meskipun dalam hal ini publik jelas dirugikan. Hal yang sama pula terhadap isu Yusril-Taufiqurrahman. Masing-masing saling menuduhkan mengenai adanya penunjukan langsung dalam pengadaan barang yang berujung pada tuduhan korupsi. Disebabkan karena proses pengadilan dapat mencederai kepentingan dua pihak, yakni Yusril maupun Taufiqurrahman, maka melalui jalur islah dan saling memaafkan dengan perantara SBY kasus tersebut dituntaskan. Manufer Yusril dalam melakukan counter terhadap tuduhan korupsi yang dilakukan oleh KPK dapat dikatakan sukses. Dengan demikian ke dua pihak yang berseteru tidak ada yang dirugikan.
Sedangkan dalam kasus SBY-Zainal penyelesaian secara benar-salah dengan melalui jalur peradilan merupakan penyelesaian yang relatif lebih menguntungkan salah satu pihak. Penyelesaian ini akan menghasilkan apakah Zainal Ma’arif benar ataukah salah. Konsekuensi dari kasus ini tidak menimpa dua pihak namun hanya akan menimpa salah satu fihak, yakni SBY ataukah Zainal. Karena itulah penyelesaian melalui peradilan dipandang aman dan menguntungkan daripada penyelesaian secara islah.
Penyelesaian dengan islah, khusus pada kasus SBY-Amien Rais, membawa dampak positif. Penyelesaian melalui jalur peradilan membawa kepada suatu kemungkinan – bila terbukti terjadi korupsi – untuk diberhentikannya jabatan Presiden di tengah jalan oleh MPR. Penghentian ini akan membawa pada kekacauan konstitusi yang imbasnya dapat mengarah kepada chaos nasional sebagaimana dikemukakan oleh Hidayat Nurwahid.12
Penyelesaian islah bagaimanapun juga membawa dampak negatif. Dengan islah kasus ini menjadi “tertutup” dan statement-statement yang dilontarkan hanyalah pepesan kosong belaka karena kemudian tidak dibuktikan. Publik dalam hal ini menjadi bingung atas apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah benar ada korupsi atau tidak, publik kemudian menjadi tidak tahu dan publik hanya dikecoh belaka. Padahal dalam penyelenggaraan negara publik berhak tahu apakah ada pelanggaran atau tidak sehingga dapat tercermin penyelenggaraan negara yang bersih. Negara adalah bukan milik seorang Presiden semata atau beberapa tokoh politik saja. Karena itulah publik berhak untuk menuntut kembali apa yang telah terlontarkan untuk dibuktikan bukan dipetieskan. Jika tidak demikian halnya berarti penegakan hukum atas kelompok-kelompok tertentu belumlah efisien.
D.Kesimpulan
Dari uraian pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa islah dilakukan tatkala terdapat tuduhan-tuduhan dengan substansi –atau sedikit banyak menyangkut – korupsi. Islah juga merupakan hasil dari tuduhan yang dilawan dengan tuduhan lain. Dengan melakukan islah maka kasus korupsi yang terindikasi dilakukan oleh para tokoh politik menjadi tertutup dan sirna. Demikian ini adalah tidak adil bagi masyarakat disebabkan masyarakat sesungguhnya berhak mengetahui dengan dibuktikan secara hukum tuduhan-tuduhan tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam perseteruan antara para tokoh politik tersebut di dasari pada substansi dari perseteruan itu adalah korupsi yang terkait dengan masalah penyelenggaraan negara yang bersih (domein publik). Sehingga setiap statment yang dilontarkan oleh politisi dengan substansi menyangkut domein publik semestinya harus dibuktikan dan tidak diselesaikan melalui jalur islah.
REFERENSI
Lesmana, Tjipta, Antiklimaks Perseteruan Amien-Yudhoyono, Sinar Harapan, 29 Mei 2007 dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/ 0705/29/opi01.html diakses tanggal 31 Desember 2007
PDIP Prihatin Perseteruan Mensesneng-KPK, Antaranews, 16 Februari 2007 dalam http://www.antara.co.id/arc/2007/2/16/pdip-prihatin-perseteruan-mensesneg-kpkG.mht diakses tanggal 04 Januari 2007
Perseteruan SBY-Amien Jangan Berujung Impeachment, Sindo Edisi Sore dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama-sore/ perseteruan-sby-amien-jangan-berujung-impeac-3.html diakses tanggal 31 Desember 2007
Perseteruan SBY-Amien Rais, Kalla Melunak, PAN Pasang Kuda-Kuda, Bali Post, Minggu Wage 27 Mei 2007 dalam http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/27/b9 diakses tanggal 31 Desember 2007
Presiden Yudhoyono Akui Bertemu Amien Rais, Akhiri Konflik, Republika Online, 28 Mei 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp? id=294678&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
SBY Siap Tuntut Amien Rais Terkait Tuduhan Dana Kampanye, Republika Online, 25 Mei 2007, dalam http://www.republika.co.id/online_ detail.asp?id=294423&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
SBY Versus Amien Positif Buat Hukum, dalam http://beritasore.com/2007/05G28/ sby-versus-amien-positif-buat-hukum/.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
Tuntaskan Laacak Dana Pilpres, Pikiran Rakyat, 14 Juli 2007 dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/14/0401.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
Zainal Ma’arif Buka Pintu Islah dengan SBY, Republika Online, 31 Juli 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=301980&kat _id=23.htm diakses 31
1 S.H.I., UIN., S.H., UGM., Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.
2SBY Siap Tuntut Amien Rais Terkait Tuduhan Dana Kampanye, Republika Online, 25 Mei 2007, dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=294423&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
3 SBY Versus Amien Positif Buat Hukum, dalam http://beritasore.com/2007/05G28/sby-versus-amien-positif-buat-hukum/.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
4 Perseteruan SBY-Amien Rais, Kalla Melunak, PAN Pasang Kuda-Kuda, Bali Post, 27 Mei 2007 dalam http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/27/b9.html diakses tanggal 31 Desember 2007
5 Ibid.
6 Lesmana, Tjipta, Antiklimaks Perseteruan Amien-Yudhoyono, Sinar Harapan, 29 Mei 2007 dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/29/opi01.html diakses tanggal 31 Desember 2007
7 Presiden Yudhoyono Akui Bertemu Amien Rais, Akhiri Konflik, Republika Online, 28 Mei 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=294678&kat_id=23.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
8 Tuntaskan Laacak Dana Pilpres, Pikiran Rakyat, 14 Juli 2007 dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/14/0401.htm diakses tanggal 31 Desember 2007
9 Lesmana, Tjipta, Op. Cit.
10 PDIP Prihatin Perseteruan Mensesneng-KPK, Antaranews, 16 Februari 2007 dalam http://www.antara.co.id/arc/2007/2/16/pdip-prihatin-perseteruan-mensesneg-kpk/.mht diakses tanggal 04 Januari 2007
11 Zainal Ma’arif Buka Pintu Islah dengan SBY, Republika Online, 31 Juli 2007 dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=301980&kat_id=23.htm diakses 31 Desember 2007
12 Perseteruan SBY-Amien Jangan Berujung Impeachment, Sindo Edisi Sore dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama-sore/perseteruan-sby-amien-jangan-berujung-impeac-3.html diakses tanggal 31 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar