Rabu, 30 April 2008

MONOPOLI PLN DAN PERSAINGAN USAHA DALAM BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

by: Rifqi Mohammed

A. Pengantar
Ketersediaan listrik bagi seluruh warga negara Indonesia merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun pada saat ini Indonesia sedang mengalami krisis listrik. Listrik yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat menjadi suatu barang yang mahal dan langka disebabkan ketersediaannya yang sangat terbatas. Salah satu faktor yang menjadi pemicu langkanya listrik adalah pertumbuhan akan kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat sementara tidak diimbangi oleh usaha penyediaan tenaga listrik yang memadai.
Tercatat sebagai keadaan krisis listrik yang parah adalah fenomena listrik padam serentak se Jawa Bali pada Rabu, 20 Februari 2008 karena terjadi defisit pasokan listrik hingga 1.044 Mw. Saat itu pemerintah bersiap untuk mengumumkan keadaan darurat jika defisit mencapai 1.500 Mw. Krisis listrik di Indonesia bisa dikatakan sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman berlgilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan terinterkoneksi juga masih sering mengalami masalah.[1]
Wacana mengenai krisis listrik ini sebenarnya telah muncul sejak awal tahun 2002 atau akhir tahun 2001. Pada waktu itu –dan sekarang – muncul pemikiran untuk keterlibatan pihak swasta terhadap pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia yang selama ini dimonopoli oleh PLN. Artinya bahwa pihak swasta sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik di samping PLN sebagai salah satu pelaksana kegiatan usaha penyediaan tenaha listrik di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam koridor kepentingan masyarakat luas terutama dalam hal menetapkan tarif yang dapat dijangkau masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat.
Minimnya pasokan listrik sebagian besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai pemasok 90% kebutuhan listrik nasional sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian listrih hingga korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh pembangunan listrik yang tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan. Hingga kini, sebagian besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil.
[2]
Dengan kodisi PLN yang demikian ini akan semakin terseok bila tidak berbenah dikarenakan permintaan listrik akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pemulihan ekonomi pascakrisis. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian krisis yang disebabkan kesenjangan (gap) antara permintaan dan pawaran sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali dan sistem interkoneksi Sumatra hanya tinggal menunggu waktu.[3]
PLN sebagai satu-satunya penyedia ketenagalistrikan di Indonesia dapat dikatakan ironis. Hal ini dikarenakan PLN yang memiliki posisi dominan dan memonopoli ketenagalistrikan tidak mampu melayani masyarakat pengguna listrik tersebut sementara keterlibatan swasta dalam bisnis listrik secara langsung (menjadi kompetitor PLN) sulit dilakukan karena terdapat preseden putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak memiliki kekuatan mengikat.
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memiliki perbedaan signifikan dengan UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang lama. Dalam UU No.20 Tahun 2002 dijelaskan bahwa semua pelaku usaha diberikan kesempatan yang lebih luas untuk dapat masuk dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Selain itu hal yang cukup berbeda ialah bahwa undang-undang ini telah mengatur hal-hal yang terkait dalam penerapan kompetisi di wilayah-wilayah tertentu.
Sesungguhnya melalui UU No. 20 Tahun 2002 tersebut akan dimungkinkan keterlibatan swasta menjadi pelaku usaha yang menyediakan listrik di Indonesia. Telaah terhadap putusan MK tersebut menjadi menarik dikarenakan secara tidak langsung mendukung PLN dalam memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia padahal secara prediktif pada tahun 2003 telah tergambar akan adanya krisis listrik disebabkan kemampuan PLN yang tidak cukup untuk menjamin pasokan listrik se Indonesia. Tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan persoalan monopoli yang dilakukan oleh PLN tersebut secara yuridis normatif dalam koridor hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah dapatlah ditarik suatu permasalahan dalam penulisan ini yakni bagaimanakah monopoli yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dalam perspektif hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?

C. Pembahasan
1. Landasan Yuridis Monopoli PLN dalam Bidang Ketenagalistrikan di Indonesia
Kelistrikan di Indonesia adalah bentukan sejarah, keadaan geografis, dan keteresediaan sumber daya alam dari zaman dahulu. Dalam perjalanannya, pemerintah selalu mengambil peran yang sempurna dalam penyediaan listrik bagi rakyat yang didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Meskipun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda dan setelah kemerdekaan telah ada perusahaan swasta komersial yang memproduksi listrik, namun pemerintah nasional mengambil peranan dalam pembangunan sektor ini selama 50 tahun terakhir. Perusahaan Umum Listrik Negara yang didirikan pada 1950 telah menjadi pemain kunci dalam cepanya pembangunan sektor kelistrikan. Data statistik menunjukkan bahwa PLN adalah salah satu perusahaan listrik terbesar di dunia dengan total pelanggan 22 juta dan lebih dari 50.000 karyawan serta hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders bagi PLN.
[4]
Secara yuridis PLN berdiri dilandaskan pada UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan pada tahun 2002 UU No.15 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 20 Tahun 2002.[5] Namun kemudian MK melalui Putusan No 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada Rabo tanggal 15 Desember 2004 menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permasalahan inti dari persoalan UU No. 20 Tahun 2002 adalah pada Pasal 16, 17 dan 68 yang menjiwai dari UU ketenagalistrikan tersebut. Pasal 16 menyatakan bahwa usaha penyediaan tenga listrik dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang berbeda. Pasal 17 menyatakan bahwa usaha pembangkitan listrik dilakukan berdasarkan kompetisi dan dilarang menguasai pasar. Larangan penguasaan pasar ini meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain:
a. menguasai kepemilikan;
b. menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi;
c. menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga listrik pada posisi beban puncak;
d. menciptakan hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha lainnya;
e. membatasi produksi tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar;
f. melakukan praktik diskriminasi;
g. melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya;
h. melakukan kecurangan usaha; dan/atau
i. melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
Untuk Pasal 68 menyatakan bahwa Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai dengan dikeluar-kannya Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun yang bertentangan hanya tiga pasal tersebut akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No.20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia.
Dalam hal ini MK berpendapat bahwa cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalisrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit transmisi dan distribusi sehingga dengan demikian meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengkiat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No.20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Dalam siaran Pers Koalisi Masyarakat Anti Kenaikan Harga sebagai pihak yang mengajukan Judicial Review atas UU No. 20 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2002 terlihat bahwa negara tidak lagi bertanggung jawab terhadap penyelengaraan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan tidak ada lagi ketentuan yang menyebutkan agar harga listrik terjangkau oleh masyarakat sebagaimana semula ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 1985 terlebih lagi harga listrik diserahkan kepada pasar sehingga tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini sangat merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).
Bahwa berdasarkan hal pokok di atas maka keberadaan UU No. 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Undang Undang Dasar, karena menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat (publik) Indonesia, yaitu: PT PLN, yang selama ini merupakan satu-satunya BUMN yang mengelola sektor ketenagalistrikan dan telah memberikan sumbangsihnya bagi bangsa, Negara dan masyarakat, bukan hanya karena telah menjalankan fungsi untuk menyediakan tenaga listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, dengan harga terjangkau melainkan juga telah memberikan peran yang besar bagi perekenomian nasional, yang kemudian berdasarkan UU No. 20 tahun 2002 tidak lagi merupakan cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga tidak adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik dengan harga terjangkau melainkan juga akan merugikan perekonomian Negara yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Bahkan dapat pula menggangu keamanan negara dan kedaulatan negara karena negara tidak lagi berkewajiban mengelola cabang produksi terpenting untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
[6]
Putusan MK ini sejalan dengan pengalaman dunia akan tenaga kelistrikan yang telah membuktikan bahwa keberhasilan restrukturisasi sektor tenaga listik adalah mitos belaka. Sejumlah negara baik negara maju dan berkembang telah menerapkan restrukturisasi namun memberikan hasil yang serupa yaitu kenaikan tarif listrik, terjadinya pemadaman, menurunnya tingkat kehandalan, penguasaan sektor listrik oleh sebagian kecil perusahaan energi multinasional dan kegagalan negara melindungi kepentingan ekonomi dan kepentingan masyarakat. Temuan ini dapat dilihat dari studi kasus dari Inggris, Brazil, dan California di AS. Pengalaman berbagai negara tersebut, dan lebih dari 20 negara lainnya di berbagai dunia menunjukkan bahwa untuk mengatasi masalah tata-kelola dan investasi untuk membangun sektor listrik, dibutuhkan kebijakan alternatif dan bukan sekedar deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang berdasar pada fundamentalisme pasar seata.[7]

2. Monopoli PLN dalam Perspektif Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Secara ekonomi, iklim kompetensi dan persaingan yang sehat dapat menghemat miliaran atau bahkan terilyunan rupiah uang konsumen yang harus dibayarakan ke produsen karena harga yang tidak wajar (overcharge) sebagai akibat kenaikan harga yang artifisial. Secara umum, terdapat beberapa manfaat yang didapat perekonomian jika pada sektor ketenagalistrikan terjadi kompetisi dan persaingan yang sehat, di antaranya adalah:
[8]
Pertama, harga yang wajar dilihat dari kualitas. Dalam iklim persaingan, produsen akan berlomba-lomba menarik konsumen dengan menurunkan harga dan meningkatkan kualitas barang/jasa yang dijualnya. Hanya barang/jasa dengan harga yang rendah dengan kualitas terbaik yang akan dibeli oleh konsumen.
Kedua, konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang/jasa. Pasar yang kompetitif akan menghasilkan barang/jasa yang ditawarkan pelaku usaha dengan pilihan harga dan kualitas yang bervariasi. Setiap konsumen pada dasarnya memiliki daya beli dan selera yang berbeda-beda. Karakteristik konsumen untuk memproduksi barang/jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Produsen dituntut untuk sensitif terhadap daya beli dan perubahan selera konsumen. Pelaku usaha yang tidak tanggap terhadap perubahan daya beli dan perubahan selera konsumen lambat laun akan tersingkir di pasar.
Ketiga, persaingan memungkinkan timbulnya inovasi. Persaingan usaha akan merangsang pelaku usaha berlomba-lomba membuat inovasi, baik inovasi produk untuk memenuhi selera konsumen, inovasi teknologi maupun inovasi metode produksi yang lebih efisien. Inovasi akan terus berkembang karena dalam pasar yang bersaing hanya pelaku usaha inovatif yang dapat bertahan dan bersaing.
Terkait dengan sektor ketenagalistrikan, jika ada pesaing lain bagi PLN, tentunya akan mendorong PLN berpikir dan melakukan yang terbaik dalam menentukan harga dan memberikan pelayanan. Hal ini secara positif akan mendorong PLN pada efisiensi kinerja dan inovasi teknologi.
Kompetisi yang dikehendaki agar dapat tercapai suatu iklim usaha yang sehat tidak dapat dilakukan dalam bidang ketenagalistrikan hal ini dikarenakan segmen yang bersifat monopoli alamiah tidak dikompetisikan dan diprioriaskan untuk dikelola oleh BUMN. Purnomo Yusgiantoro dalam hal ini menyatakan bahwa pada dasarnya usaha penyediaan ketenagalistrikan dilakukan secara monopoli, harga jual juga tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan dalam memberi izin tersebut. Meskipun demikian usaha penyediaan ketenagalistrikan juga dapat dilakukan secara terintegrasi atau satu jenis usaha saja. Namun karena PLN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka diberi hak untuk diprioritaskan dalam memenuhi ketenagalistrikan.
[9]
PLN berdasarkan undang-undang merupakan perusahaan yang memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia hal ini dilandaskan pada UU No. 15 Tahun 1985. Dalam perspektif UU No 5 Tahun 1999 mengenai kebasahan monopoli diatur dalam Pasal 51 yang menyatakan bahwa monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Pasal 51 ini tampaknya merupakan turunan dari Pasal 33 UUD 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa listrik merupakan salah satu komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai oleh negara dalam pengaturannya. Dalam Putusan MK tersebut yang merujuk pendapat Hatta dan pandangan para ahli menyimpulkan bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.
Dengan demikian ketersediaan listrik sesungguhnya merupakan tugas Pemerintah untuk menenuhinya. Keterlibatan swasta dalam penguasaan listrik tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pasar dikarenakan ketenagalistrikan merupakan sektor yang unik dan perlu penanganan khusus demi untuk tersedianya listrik yang relatif murah bagi seluruh rakyat Indonesia.

D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan singkat yang telah penulis kemukakan dapatlah diambil kesimpulan bahwa monopoli yang dilakukan oleh PLN dalam sektor ketenagalistrikan memiliki landasan yuridis yang kuat yakni melalui konstruksi hukum Pasal 33 UUD 1945, UU Ketenagalistrikan, dan UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun demikian PLN belum mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia secara layak. Demikian ini merupakan suatu hal yang dilematis bagi penyelenggaraan ketenagalistrikan di Indonesia mengingat kedudukan PLN yang kuat secara yuridis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Penyediaan Ketenagalistrikan Dilakukan Secara Monopoli dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14921&cl=Berita.htm tanggal 30 Mei 2006 diakses tanggal 28 April 2008.

Anonim,
http://www.aphi.or.id/informations.php?subaction=showfull&id=1103715000&archive=&start_from=&ucat=5&.htm diakses 28 April 2008

Banu Muhammad H, 2005, Urgrnsi Persaingan Usaha pada Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 3 Mei 2005.

Fabby Tumiwa, 2005, Pengalaman Restrukturisasi dan Privatisasi Sektor Ketenagalistrikan di Berbagai Negara, dalam Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3 Mei 2005.

Media Indonesia, 21 Februari 2008 dan
http://www.pln-jatim.co.id/e7/_mod/news/news_preview.asp?kode=1276.htm diakses 28 April 2008

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003

UU No 5 Tahun 1999

UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
[1] Lihat Media Indonesia, 21 Februari 2008 dan http://www.pln-jatim.co.id/e7/_mod/news/news_preview.asp?kode=1276.htm diakses 28 April 2008
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Banu Muhammad H, 2005, Urgrnsi Persaingan Usaha pada Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 3 Mei 2005.
[5] Pasal 70 UU No.20 Tahun 2002.
[6]http://www.aphi.or.id/informations.php?subaction=showfull&id=1103715000&archive=&start_from=&ucat=5&.htm diakses 28 April 2008
[7] Fabby Tumiwa, 2005, Pengalaman Restrukturisasi dan Privatisasi Sektor Ketenagalistrikan di Berbagai Negara, dalam Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3 Mei 2005.
[8] Banu Muhammad., op.cit., hal 30.
[9] Penyediaan Ketenagalistrikan Dilakukan Secara Monopoli dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14921&cl=Berita.htm tanggal 30 Mei 2006 diakses tanggal 28 April 2008.

1 komentar:

opalmacdonald mengatakan...

Where To Play On The Las Vegas Strip In 2021 - Dr.MCD
The 양산 출장안마 Las Vegas Strip, along with many other things to do, is home to 전라남도 출장샵 some of the best casino gambling in the 화성 출장마사지 world. Whether 목포 출장안마 you're 인천광역 출장마사지